Friday, November 25, 2005

Kunjungan SBY ke AS & wajah investasi RI

Bisnis Indonesia, 15 September 2005

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali berkunjung ke Amerika Serikat untuk kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari enam bulan. Kita masih ingat akhir Mei 2005, Kepala Negara melakukan kunjungan kenegaraan ke negeri adidaya itu.

Berbeda dengan kunjungan pertama, kali ini Presiden tak bertemu Presiden AS George Bush. Namun Condy Rice, Menlu AS, menjadi salah satu tamu yang akan diterima Kepala Negara selama di New York.

Sebelum ke New York, Presiden Yudhoyono berkunjung ke almamaternya, Webster University, Saint Louis, Missouri. Di universitas ini, dia meraih gelar master of arts di bidang manajemen. Di sini SBY akan menerima gelar doktor honoris causa di bidang hukum, walaupun dahulu dia meraih gelarnya di cabang Webster di Kansas.

Di situs universitas itu tidak disebutkan mengapa bidang hukum yang diberi penghargaan. Tetapi mungkin karena Kepala Negara dicitrakan cukup baik dalam hal pemberantasan korupsi walaupun belakangan SBY memerintahkan Jampidsus Hendarman Supandji agar 'cooling down'. Begitu juga masyarakat yang mulai meragukan ketegasan SBY dalam penegakan hukum ketika sampai saat ini tidak jelas penyelidikan kasus dugaan rekening ratusan miliar rupiah milik sejumlah perwira Polri.

SBY selanjutnya juga mendapatkan sertifikat penghargaan dari Army College of Staff di Fort Leavenworth, Kansas.

Kedua penghargaan itu tentu menambah gemerlap gelar akademis SBY yang sebelumnya menyandang doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelang pemilu presiden lalu. Sebagian masyarakat bangga dengan berbagai gelar tersebut karena mencitrakan seorang presiden berpendidikan, tetapi sebagian mengkritik. Bahkan ada yang secara sarkastik menyebut IPB itu sebagai Institut Penjilat Bembeng.

Wajah SBY tentu sumringah dengan berbagai penghargaan yang diserahkan sebelum berbagai kegiatan pentingnya di New York. Agenda penting di kota bisnis dunia itu adalah pidato di PBB.

Di bidang ekonomi, SBY akan menjadi pembicara utama pada Indonesia's Intitutional Investors Conference, sebuah konferensi yang dirancang untuk menarik para investor institusi menanamkan modal mereka di Indonesia.

Menggenjot investasi, termasuk dari investor asing, memang menjadi salah satu janji utama SBY dalam kampanyenya tahun lalu. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa perkembangan investasi merupakan prasyarat bagi penciptaan lapangan kerja baru yang amat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Bila merunut data statistik Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perkembangan persetujuan PMA memang terlihat meningkat cukup signifikan. Selama Januari-Juli 2005, misalnya, disetujui 948 proyek PMA dengan komitmen investasi US$6,63 miliar. Persoalannya, komitmen tidak berarti apa pun bila tidak direalisasikan.

Realisasi investasi berupa masuknya dana ke Indonesia bisa dilihat dari perkembangan neraca transaksi berjalan. Dalam beberapa tahun terakhir ini sangat jelas arus investasi asing langsung (FDI) belum ada tanda-tanda membaik.

Tahun lalu, arus FDI bersih memang mencapai US$1 miliar, jauh lebih baik dibandingkan dengan 2003 yang minus hampir US$600 juta. Namun pada kuartal pertama 2005, arus FDI bersih baru mencapai US$423 juta, justru turun bila dibandingkan dengan kuartal terakhir 2004 yang US$463 juta.

Apakah kita kurang mempromosikan potensi investasi?

Tidak juga. Awal tahun ini, pemerintah menggelar Infrastructure Summit yang dihadiri oleh investor dari berbagai negara untuk menawarkan potensi investasi di sektor infrastruktur seperti listrik, gas, jalan tol, hingga air minum. Tetapi data persetujuan investasi dalam tujuh bulan terakhir ini tidak memberikan gambaran bahwa investor memang telah memasuki sektor itu.

Nilai persetujuan PMA di sektor listrik, gas, dan air selama Januari-Juli 2005, misalnya, baru mencapai US$11 juta. Sedangkan di sektor konstruksi masih di bawah US$500 juta.

Apakah mereka tidak memahami potensi investasi yang amat besar di Indonesia? Tidak juga. Mereka sadar bahkan berebut ingin masuk.

Hal itu tercermin dari begitu banyaknya nota kesepahaman untuk investasi di Indonesia ketika baik Presiden SBY maupun Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke China dalam kurun satu bulan (akhir Juli-akhir Agustus 2005). Nilai proyek yang disepahami untuk dibangun di Indonesia mencapai US$7,5 miliar. Tetapi antara keinginan dan kenyataan terdapat kesenjangan yang besar.

"Kami sebetulnya ingin masuk ke jalan tol karena kami melihat ada peluang. Tetapi begitu hendak mengajukan penawaran, di sana sudah ada Kelompok A, di sini ada Kelompok A juga. Kami akhirnya memilih mundur," ujar seorang investor.

Masa depan proyek

Kekhawatiran sang investor bukan pada kedigdayaan Kelompok A tetapi koneksitas politiknya yang membuat dia ragu soal masa depan proyek. "Kalau terjadi pergantian rezim nanti bagaimana?" begitu dia bertanya.

Investor lain yang berniat masuk ke distribusi gas alam juga melihat peluang amat besar di sektor ini karena masih rendahnya konsumsi gas alam di Indonesia. "Tetapi ketika masuk, kami harus bekerja sama dengan kelompok B atau C atau D sementara kami tahu mereka memiliki track record yang buruk di masa lalu. Akhirnya kami batal masuk dan memilih ke negara lain," ujar investor lain.

Kepercayaan investor terhadap penegakan hukum juga masih rendah karena penyelesaian berbagai sengketa investasi di Indonesia tidak jelas. Misalnya kasus Karaha Bodas, Cemex, dan Blok Cepu yang belum jelas arah penyelesaiannya.

Sering kali terjadi pernyataan antara menteri A dan menteri B untuk soal yang sama amat berseberangan sehingga membingungkan investor domestik maupun asing, soal siapa sesungguhnya mahluk bernama pemerintah Indonesia itu?

Situasi seperti itu terjadi nyaris setiap saat. Rencana kenaikan harga BBM, misalnya, merupakan salah satu yang paling membingungkan investor, termasuk mereka yang sudah menanamkan modal di Indonesia, karena mereka kesulitan membuat kalkulasi bisnis.

Politik ekonomi hidrokarbon Aceh Damai

Bisnis Indonesia, 19 Agustus 2005

Satu-satunya kata kimia yang tertuang dalam kesepakatan damai Aceh yang diteken di Helsinki Senin lalu adalah hidrokarbon. Tentulah yang dimaksud adalah unsur kimia hidrogen dan karbon yang lazimnya ada di minyak dan gas alam. Tetapi unsur utama kayu dari hutan alam adalah hidrokarbon. Demikianpun kelapa sawit dan batubara.

Sayang sekali, tidak ada elaborasi lebih mendalam apakah yang dimaksud hidrokarbon dalam perjanjian damai Aceh itu termasuk kayu, kelapa sawit, hingga batubara?

Tanpa kejelasan mengenai apa yang dimaksud hidrokarbon dalam perjanjian itu, dikhawatirkan posisi pemerintah Indonesia sangat lemah.

Bila yang dimaksud hanya migas, maka jelaslah tidak ada yang aneh dari perjanjian itu. Sesuai UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta UU Migas, daerah penghasil migas memang berhak menerima hingga 70% bagi hasil yang merupakan porsi pemerintah.

Untuk hidrokarbon lain yaitu kayu dari hutan alam, saat ini terdapat sekitar sembilan perusahaan yang mendapat konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dengan luas areal sekitar 500.000 hektare. Di antara yang besar terdapat PT Alas Helau, perusahaan terafiliasi dengan kelompok politik masa lalu, yang memasok kebutuhan kayu PT Kertas Kraft Aceh, produsen kertas kraft terbesar di Indonesia. Selain itu terdapat PT Raja Garuda Mas Lestari, anak perusahaan Grup RGM, produsen pulp dan kertas milik Sukanto Tanoto.

Terganggu

Selama ini, aktivitas penebangan kayu di Aceh sedikit terganggu oleh sengketa bersenjata antara militer Indonesia dan GAM. Damai tentu memperlancar penebangan kayu di daerah itu. Pertanyaannya, apakah setiap kayu yang ditebang oleh HPH 70% diserahkan ke pemerintah Aceh?

Pertanyaan yang sama diajukan untuk kegiatan penanaman kelapa sawit, yang menghasilkan crude palm oil (CPO), salah satu hidrokarbon utama di dunia. Walaupun pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terlihat bodoh, perlu klarifikasi pemerintah mengenai apa yang dimaksud hidrokarbon dalam pakta damai Aceh itu.

Betapapun anggaran negara Indonesia (APBN) masih sangat tergantung pada produk-produk hidrokarbon, baik migas, batubara, kayu, maupun sawit. Tengoklah neraca perdagangan Indonesia, isinya didominasi berbagai produk hidrokarbon alam tersebut.

Kembali ke hidrokarbon migas, situasi Aceh memang serba dilematis. Selama ini, ladang gas ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) Inc di Lhoksukon dan North Sumatra (NSO) merupakan pemasok utama gas untuk pabrik LNG PT Arun NGL, dua perusahaan pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), satu pabrik bahan bakar minyak (BBM) milik PT Humpuss Aromatik, dan pabrik kertas kraft PT KKA.

Selama ini hidrokarbon berupa liquefied natural gas (LNG) yang diproduksi PT Arun NGL merupakan penyumbang devisa penting bagi Indonesia.

Namun setelah lebih dari 30 tahun ditambang dan memberi sumbangan devisa sangat besar bagi keuangan Indonesia, cadangan gas alam di Aceh semakin merosot. Kemerosotan itu terlihat dari statistik produksi LNG yang terus merosot sejak 1995. Dari enam pabrik yang ada di Arun, hanya tiga yang beroperasi. Tahun depan, diperkirakan hanya dua yang akan beroperasi. AAF bahkan akan segera dilikuidasi karena tak lagi beroperasi dua tahun terakhir akibat tidak tersedia hidrokarbon. PIM pun harus mengistirahatkan satu pabrik dengan alasan sama.

EMOI sempat menjadikan ketegangan militer TNI-GAM sebagai penyebab terganggunya produksi dan pasokan gas alam. Tapi setelah damai, tak ada jaminan produksi dan pasokan gas alam di Aceh akan pulih.

Diperkirakan dalam kurun kurang dari satu dekade ke depan, cadangan gas alam di Aceh akan habis, sehingga masa depan pabrik pengolah gas alam itu pun tak pasti.

Harapan ada di Blok A yang dimiliki Exxon dan ConocoPhilipps. Tetapi sampai kini pengembangan blok itu terkatung-katung karena tidak ada kesepakatan soal pola bagi hasil antara pemerintah pusat dan Exxon-Conoco.

Pemerintah diketahui telah menawarkan bagi hasil 55% untuk pemerintah dan 45% untuk kontraktor. Tetapi Conoco mengajukan permintaan bagi hasil 50%:50% dengan alasan terlalu tingginya kadar karbondioksida dalam cadangan gas di Selat Malaka itu.

Mengingat klausul lainnya adalah hak bagi Aceh untuk melakukan perikatan investasi langsung dengan pihak internal dan internasional dalam menarik investasi, apakah Aceh akan mengambilalih posisi pemerintah Indonesia dalam perundingan bagi hasil dengan kontraktor hidrokarbon?

Tentu saja, perjanjian damai itu, jika memberikan kedamaian bagi Aceh akan membuka lebih banyak peluang ekonomi. Tetapi peluang tersebut tidak mudah direalisasikan sampai ada kejelasan mengenai berbagai persoalan makro, terutama kebijakan fiskal dan moneter.

Pajak sendiri

Misalnya, salah satu klausul perjanjian itu adalah Aceh berhak menetapkan pajak untuk mendanai roda pemerintahan. Bagi pengusaha, pajak merupakan bagian pokok dari perhitungan investasi. Kita memahami bahwa di negara federasi seperti AS, negara bagian menetapkan tarif pajak sendiri-sendiri. Di California, AS, misalnya pajak daerah sebesar 8%. Artinya, ketika kita makan di restoran dikenakan pajak 8%, tetapi tidak dikenakan pajak federal. Tetapi bila kita bekerja di California, maka terhadap gaji kita dikenakan pajak California 8% dan pajak federal 12%.

Bagaimana bentuk pajak yang dikenakan Aceh itu tentu akan sangat menentukan seberapa menarik iklim berinvestasi di daerah tersebut.

Tetapi betapa pun, banyak pihak yang akan mengeruk manfaat dari perjanjian damai ini. Para kontraktor dan pemasok material untuk proyek rekonstruksi Aceh, misalnya. Demikianpun konsultan internasional, mulai dari desainer kota hingga perusahaan public relations, yang kini mengeruk rezeki dari proyek rekonstruksi Aceh US$5 miliar itu. Bagi mereka, tidak ada relevansinya politik ekonomi hidrokarbon itu.

Soal kepemilikan bank

Bisnis Indonesia, 22 Agustus 2005
Para bankir plat merah akhir-akhir ini rajin mengeluh. Pasalnya dapur me-reka terus menerus digerogoti pesaing. Maka tak sedikit diantara mereka yang menggerutu minta kepada pemerintah dan Bank Indonesia agar membatasi kepemilikan asing di perbankan nasional. Ada pula yang mengusulkan agar diterapkan simple majority di kepemilikan bank, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Atau usulan agar BI 'memaksa' bank asing atau bank yang mayoritas sahamnya dimiliki asing agar mengurangi kredit konsumsi dan mengarah ke kredit in-vestasi sektor riil dan infrastruktur. Uniknya sebagian besar bankir plat merah dan pengamat perbankan itu mendasarkan argumentasinya pada hasil riset majalah Infobank bahwa telah terjadi kenaikan signifi-kan kepemilikan asing di perbankan Indonesia dari 11% sebelum krisis menjadi 40% saat ini. Ringkas kata mereka berargumentasi bahwa hal itu merupakan sesuatu yang membahayakan ekonomi Indonesia. Sayang sekali para bankir dan ekonom itu lupa bahwa sebelum krisis perbankan 1997-1999, mayoritas bank nasional dikuasai oleh orang Indonesia semacam Sa-lim, Sjamsul Nursalim, Mohammad 'Bob' Hasan, Kaharuddin Ongko, Usman Ad-madjaja, Marimutu Sinivasan, Fadel Muhammad, Mbak Tutut, Bambang Trihatmodjo, Hashim Dojojohadikoesoemo, Aburizal Bakrie, dan sebagainya. Tengoklah bank plat merah, tidak satu pun yang luput dari rekapitalisasi. Bagaimana Bank Exim menguras uang negara gara-gara rugi valas Rp20 triliun? Bagaimana BNI tersedak kredit macet Texmaco Rp28 triliun? Bagaimana bank-bank asal Bank Mandiri terseret kredit macet ratusan triliun rupiah? Apakah struktur kepemilikan saham memang suatu yang sangat fundamental bagi sehat atau tidaknya perekonomian suatu negara? Apakah struktur kepemilikan saham menjadi alasan bagi regulasi baru? Sebelum membahas berbagai soal itu, perlu kiranya mencermati statistik Bank Indonesia yang dipublikasikan di situs www.bi.go.id. Tabel-tabel berikut ini adalah hasil olahan dari data BI dimaksud. Pertanyaan pertama, apakah bank asing/milik asing cenderung bermain di kredit konsumsi? Jika data BI itu valid, maka selama Januari-Mei 2005 justru terjadi penurunan porsi kredit konsumsi di bank asing/ campuran dari 15,95% menjadi 15,2%. Memang dari sudut absolut terjadi peningkatan 10,9%, tetapi pertumbuhannya justru lebih rendah dari bank BUMN yang 11,7%. Justru porsi kredit konsumsi di bank BUMN hampir dua kali lipat bank asing/ campuran yaitu mencapai 26,8% pada Januari 2005 lalu meningkat menjadi 27,7% pada akhir Mei. Tentu ada yang mengatakan yang dimaksud bank asing adalah bank swasta nasional yang sebagian besar sahamnya telah dimiliki asing. Farallon di BCA, Temasek di BII dan Danamon, Commerce Berhad di Niaga, Stanchart di Permata, serta Khazanah di Lippo dan sebagainya. Katakan bahwa berbagai bank milik asing itu sama dengan seluruh kategori bank swasta nasional, porsi kredit konsumsinya ternyata hampir sama dengan bank BUMN yang nyaris tak berubah dari 27% menjadi 27,7% pada periode itu. Me-mang ada bank milik asing yang porsi kredit konsumsinya lebih dari rata-rata. Bank Niaga, misalnya, porsi kredit konsumsinya 31% per Juni 2005, naik dari 25% pa-da Juni 2004. Tetapi sisanya mengalir ke sektor riil seperti manufaktur 22,63%, perdagangan, restoran dan hotel 17,26%, jasa lain 15,83%, yang merupakan sektor riil. Situasi di BII mirip Bank Niaga dengan kecenderungan kredit konsumsi meningkat, namun porsinya 32% dari total kredit. Sisanya adalah ke sektor riil. BNI pun mencatat kenaikan kredit konsumsi dari Rp10,19 triliun menjadi Rp11,6 triliun pada periode yang sama, kendati dari sudut porsi hanya 19,3%. Tetapi dalam hal kredit korporasi justru turun dari Rp21,4 triliun menjadi Rp19,9 triliun. Kembali ke data BI, secara nasional kredit perbankan meningkat hampir 13,4% selama periode Januari-Juni 2005, sedangkan kredit di bank BUMN justru hanya naik 10,21%, sedangkan bank swasta nasional (termasuk yang mayoritas sahamnya dimiliki asing) tumbuh 15,63% dan bank asing/campuran naik 17,37%. Menurut kategori BI, hanya tiga kelompok besar itulah kredit yang disalurkan perbankan yaitu kredit konsumsi, modal kerja, dan investasi. Jadi klaim bahwa bank BUMN yang lebih aktif di kredit in-vestasi merupakan kekeliruan substansi. Yang menarik adalah data pengumpulan dana perbankan atau DPK. Bank asing mencatat pertumbuhan sangat pesat yaitu naik 12,3%, sedangkan bank swasta nasional 4,8%, dan bank BUMN malah lebih baik sedikit (5,3%) kendati sebelumnya ada kekhawatiran nasabah hengkang dari bank BUMN menyusul pengusutan berbagai kasus kredit macet. Pertanyaannya, apakah ini sesuatu yang buruk bagi perekonomian atau sebaliknya? Apakah benar bahwa kredit konsumsi lebih berbahaya dari kredit korporasi dan kini telah bubble? Kalau ya, kenapa hampir semua bank melakukannya, termasuk bank BUMN? Apalagi sejumlah bankir yang kini memimpin bank plat merah merupakan alumni bank milik asing yang ikut menggenjot kredit konsumsi. Simple majority Soal pembatasan kepemilikan saham bank memang tidak ada aturan baku yang berlaku universal. Di Amerika Serikat, memang praktis tidak ada lagi bank yang dikuasai mayoritas oleh satu entitas, perorangan maupun badan usaha, walaupun tidak ada aturan yang membatasi kepemilikan saham bank. Namun negara ini membatasi ke-pemilikan minimal 10% sebagai syarat untuk menjadi pemegang saham pengendali, hal mana lebih longgar dari ke-tentuan Indonesia yang minimum 25%. Bahkan di AS, 5% saham pun sudah cukup untuk menjadi pengendali bank asalkan direstui pengawas perbankan. Sebaliknya di Malaysia, pemegang saham pengendali harus memiliki 50% saham dan memiliki kuasa/pengaruh, namun justru membatasi kepemilikan individu maksimal 10% dan nonindividu 20%. Di Korsel, tidak ada batasan soal apa yang disebut pemegang saham pengendali, tetapi ada batasan soal pemilikan saham individu dan badan hukum, mirip Malaysia. Kepercayaan umum mengatakan kepemilikan mayoritas oleh satu kelompok/individu/badan usaha (single majority) akan mendatangkan godaan moral hazard seperti yang terjadi sebelum krisis moneter 1997 yang menghancurkan perbankan nasional. Tetapi tidak ada jaminan apa pun bahwa single majority pun tak mendatangkan moral hazard. Bahkan Citicorp, bank terbesar di dunia, yang sering dijadikan referensi para bankir plat merah untuk membenarkan single majority, pun tak luput dari moral hazard. Sebab moral hazard tidak saja dapat dilakukan pemilik, melainkan manajemen atau melalui kongsi dengan pihak luar/nasabah. Dalam kasus PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk yang dibobol skenario pembukaan leter of credit (L/C), pemerintah sebagai pemilik mayoritas tunggal BNI, sama sekali tidak terlibat. Sebaliknya sejumlah pejabat tinggi pemerintah memang terlibat dalam pengucuran kredit Rp27 triliun dari BNI ke Texmaco yang hingga kini macet tetapi tak ada satu pun yang dimintakan pertanggungjawabannya. Studi yang dilakukan para peneliti Bank Indonesia yang terdiri dari Muliaman Hadad, Agus Sugiarto, Wini Purwanti, M. Jony Hermanto, dan Bambang Arianto dengan judul Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia (September 2003) pun berkesimpulan bahwa kinerja suatu bank tidak terkait dengan struktur kepemilikan dan merekomenda-sikan agar dalam pengaturan perbankan ke depan yang berkaitan dengan kinerja bank, struktur kepemilikan bukan merupakan faktor yang dominan. Meskipun demikian, para peneliti BI itu merekomendasikan agar supervisi yang terkonsolidasi harus diperhatikan aspek kehati-hatiannya bila bank dimiliki non-financial conglomerate/corporation. Lalu kalau kepemilikan bukan faktor dominan, apa yang harus diperhatikan? Jawabannya pada kualitas manajemen. Menyitir agency theory (Jensen & Meckling) yang dikutip Muliaman Hadad dkk, kinerja bank ditentukan oleh manajemen sebagaimana tertuang dalam performance contract antara pemilik dan manajemen. Seringkali kita mendengar alasan dari manajemen bank plat merah bahwa mereka hanya menjalankan perintah ketika ditimpakan pertanyaan mengapa ada masalah dalam pengucuran kredit ke kelompok kekuasaan? Jawaban semacam ini membuktikan lemahnya integritas manajemen dan cenderung mendahulukan kepentingan jabatan, "yang penting aman, tidak dipecat." Kalau begini, baiklah kita berseru kepada para bankir plat merah. Jangan cepat-cepat mengeluh. Itu mental bangsa yang kurang percaya diri.

Redemption Reksa Dana & Reputasi Bank

Bisnis Indonesia, 7 September 2005
Ketika booming reksa dana tahun lalu, hampir semua bank menggandeng perusahaansekuritas untuk mengelola dana nasabah. Tidak sedikit yangterang-terangan merayu nasabah kakap untuk mengalihkan dananya ke reksadana dengan janji untung lebih besar.
Banyaknasabah yang kesengsem. Apalagi para pengelola reksa dana ramai-ramaiberiklan di media massa lengkap dengan grafik perbedaan untung antaramenyimpan dana di bank dan reksa dana.
Ketikaitu, bunga di bank memang sangat rendah sekitar 6%, sedangkan tingkatbunga obligasi berkisar rata-rata 11%. Sejumlah reksa dana dapatmemberikan return dua kali lebih besar atau bahkan tiga kali lebihbesar. Para pengelola reksa dana sumringah.
Merekasempat gerah dengan rencana pemerintah menetapkan pajak atas reksadana, tetapi dengan 'tekanan' luar biasa, pajak pun menyingkir.Alasannya ketika itu, biarkan reksa dana tumbuh terlebih dahulu barudipajakin.
Makajumlah dana yang masuk ke reksa dana pun melonjak tajam dari hanya Rp8triliun pada 2001 menjadi Rp100 triliun pada awal tahun ini.Pertumbuhan yang amat pesat itu, memang didorong oleh kemerosotan bungadeposito di bank menyusul langkah Bank Indonesia memangkas suku bungaSertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 17% pada 2001 menjadi sekitar 6%tahun lalu.
Perkembanganreksa dana yang amat pesat itu tak terlepas dari peran perbankan.Hampir semua bank berlomba-lomba, sebagian ikut-ikutan, menjadi agenpenjualan produk reksa dana. Mereka merayu nasabah untuk pindah kereksa dana. Bagi nasabah pemilik dana, janjinya adalah keuntungan lebihbesar. Sedangkan bagi bank itu merupakan cara mengubah strukturpendanaan karena deposito biayanya mahal. Bank juga mendapatkan margindan memperbesar fee-based income-nya.
Tapi rupanya tak sampai lima tahun, industri ini mulai tumbang.
Tetapigonjang-ganjing nilai tukar rupiah merupakan pukulan paling telakkarena memaksa Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga dalamhitungan satu bulan saja, SBI telah meningkat pesat ke 10% dandiperkirakan akan terus meningkat menjadi 12% untuk meredam kejatuhanrupiah.
Pemilikunit reksa dana pun mulai resah. Gelombang penarikan dana (redemption)tak terhindarkan. Pada akhir Agustus, dana kelolaan di reksa dananasional telah merosot menjadi Rp62,85 triliun.
Dalamkonteks bank, apalagi bank yang menjadi agen penjualan dan menjadikananak perusahaan sebagai manajer investasi, penarikan dana seperti itumengandung risiko yaitu reputasi.
Halitulah yang tampaknya tengah menimpa PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbkyang membeli portofolio yang dilepas PT BNI Securities ketika reksadana yang dikelola sekuritas itu mengalami redemption.
KetikaBNI memakai jaringan kantornya untuk memasarkan reksa dana yangdikelola BNI Securities, maka nama bank itulah yang menjadi taruhan.
Walaupunsecara legal BNI tidak memiliki tanggung jawab dalam hal penarikan olehnasabah, tetapi bagi nasabah, nama BNI itulah yang muncul.Persoalannya, apakah tindakan BNI itu sejalan dengan ketentuanmanajemen risiko sesuai Surat Edaran BI pada 14 Juni 2005?
Kejujuran
Persoalanutama adalah kejujuran bank ketika menawarkan produk reksa dana itukepada nasabah dan pelaporan ke Bank Indonesia sebagai lembagapengawas. Sebab, risiko lain bagi bank adalah likuiditas terganggu.Risiko likuiditas ini terutama terjadi bila redemption dalam skalabesar dan bank menjamin tingkat pengembalian tertentu kepada investoralias guaranteed fix return.
Dalamhal reksa dana jenis guaranteed fix return, bank berkewajibanmemberikan rate of return seperti dijanjikan kepada nasabah saatmenawarkan produk reksa dana. Akibatnya, bank harus membayar selisihbunga yang harus diberikan ke pemilik reksa dana apabila hasilinvestasi di portofolio reksa dana ternyata memberikan return yanglebih rendah dari yang dijanjikan.
Mungkinkarena itulah, Surat Edaran BI antara lain melarang bank bertindaksebagai pembeli siaga, memberikan jaminan atas pelunasan maupunkepastian imbal hasil dan melakukan intervensi atas pengelolaanportofolio reksa dana yang dilakukan oleh manajer investasi.
Sayangsekali, kemungkinan besar nasabah tidak mengetahui atau belummengetahui hal itu karena Surat Edaran BI itu pun baru terbit ketikaperbankan telah terjerumus ke reksa dana sedemikian dalam.
Bagaimana kalau terjadi penarikan dalam skala lebih besar yang sangat mungkin terjadi karena kenaikan berkelanjutan dari SBI?
Jelashal itu bakal membawa risiko likuiditas bagi bank yang terafiliasidengan manajer investasi tadi. Misalnya dalam kasus BNI dan BNISecurities tadi. Tidak jelas apakah Bank Mandiri dan Mandiri Sekuritasjuga dalam kondisi serupa. Begitu juga bank lain yang gencar menawarkanreksa dana.
Tetapikalau hal itu terjadi, maka bank menghadapi risiko likuiditas bilamemberikan jaminan imbal hasil tadi. Selain harus menalangi semua danainvestor plus bunga, bank harus menyelamatkan likuiditas anakperusahaan (BNI Securities dan Mandiri) dengan membeli underlying asetreksa dana baik itu berupa obligasi rekap, surat utang negara, maupunaset lainnya.
Kalausudah begini, kita patut bertanya, ke mana saja BI selama ini? Mengapawasit selalu 'dikelabui' pemain dan selalu terlambat meniup peluitserta menjatuhkan sanksi?
Dalamkasus 'talangan' BNI terhadap BNI Securities, patut kiranya diselidikilebih lanjut bagaimana para karyawan BNI menawarkan reksa dana ke paranasabah? Patut pula diselidiki apakah ketika menawarkan produk itu adajaminan bahwa BNI menjadi pembeli siaga? Bagaimana dengan bank lainnya?
Tanpakejelasan jawaban berbagai pertanyaan itu, niscaya BI akan terusmenerus dianggap wasit yang selalu telat dan sibuk mencari alasanketika sudah terjadi masalah seperti dalam penutupan puluhan bank pada1998-1999 serta penutupan dan pembobolan beberapa bank dalam dua tahun terakhir.

Perombakan kabinet minus malum

Bisnis Indonesia, 17 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya berbicara panjang lebar mengenai rencana evaluasi dan kemungkinan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dalam sebuah silaturahmi dengan para wartawan pekan lalu.
Seperti hendak menepis keraguan banyak pihak seputar 'keberanian' presiden dalam melakukan perombakan kabinet, SBY menegaskan bahwa perombakan akan dilakukan. Tetapi dia juga mengkonfirmasi keraguan sejumlah kalangan soal bentuk perombakan itu sendiri. Sejak awal, sejumlah analis memperkirakan bahwa perombakan hanya akan dilakukan secara terbatas. SBY membenarkan bahwa hanya satu atau dua menteri saja yang tak lagi duduk di kabinet.
Karena itu, bagi mereka yang berharap akan terjadi perombakan besar, terutama di tim ekonomi pemerintah, pernyataan dan rencana SBY itu adalah sebuah kondisi minus malum. Mengabaikan tuntutan perombakan kabinet tentulah bisa menjadi 'neraka' bagi SBY. Tetapi melakukan perombakan besar pun bisa menjadi 'neraka', apalagi memperhitungkan realitas politik yang dihadapi SBY.
Karena itu dilakukanlah perombakan kecil yang dianggap 'dosa' oleh mereka yang berharap perombakan besar. Tetapi 'dosa' itu dipandang kecil sehingga cukup untuk menghindari 'neraka'. Itulah minus malum.
Bila pernyataan di media massa dapat dijadikan acuan, tuntutan paling banyak untuk dirombak adalah tim ekonomi. Selain sang pemimpin, Aburizal Bakrie (Menko Perekonomian), para anggotanya seperti Jusuf Anwar (Menteri Keuangan), Mari Pangestu (Menteri Perdagangan), Andung Nitimihardja (Menteri Perindustrian), Sugiharto (Menteri BUMN), Purnomo Yusgiantoro (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), atau Hatta Rajasa (Menteri Perhubungan) juga disebut oleh beragam kelompok sebagai sasaran perombakan.
Di luar tim ekonomi, tuntutan juga datang dari PKB versi Muhaimin Iskandar (Abdurrahman Wahid cs) agar dua menteri yang juga tokoh PKB versi Alwi Shihab (Alwi Shihab dan Saefullah Yusuf) dicopot. Begitu juga tuntutan agar Menteri Hukum dan HAM (terkait skandal dugaan korupsi para pejabat KPU) atau Menteri Sekretaris Negara (terkait dugaan korupsi di Setneg).
Minta jatah
Sebagai gantinya, para pemimpin partai politik berlomba meminta jatah kursi di kabinet. Partai Golkar, walaupun tidak diakui oleh Ketua Umum Jusuf Kalla, disebut-sebut meminta jatah delapan kursi menteri. Partai Demokrat juga meminta lebih dari tiga. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga meminta jatah empat kursi (naik dari tiga).
Jelaslah bahwa dari pernyataan SBY, dia tidak akan memenuhi beragam tuntutan tersebut. Partai Amanat Nasional (PAN) mengklaim tidak meminta tambahan kursi tetapi telah memastikan dua anggotanya di kabinet yaitu Hatta Rajasa dan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo (baru-baru ini memasang iklan satu halaman di sebuah harian nasional mengenai kinerja satu tahun memimpin departemen) tetap di kabinet.
Federasi Serikat Pekerja BUMN pagi-pagi telah memasang pagar untuk melindungi Sugiharto. Khabarnya PKS pun mendukung Sugiharto tetap di kabinet. Sugiharto pun mengklaim telah memenuhi seluruh target ke APBN dari dividen BUMN walaupun target privatisasi Rp3,5 triliun tak terpenuhi. Justru karena tidak melakukan privatisasi, Sugiharto dipandang berhasil mempertahankan BUMN dan tidak melakukan privatisasi ugal-ugalan seperti dicitrakan pada menteri BUMN sebelumnya, Laksamana Sukardi.
Sejumlah tokoh pun telah mengeluarkan fatwa agar tidak mengganti Aburizal. Aburizal sendiri mengaku telah mencapai sebagian besar target ekonomi yang dibebankan kepadanya, kecuali inflasi yang meleset dari dugaan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menilai kinerja tim ekonomi sangat baik di tengah situasi yang tak menguntungkan seperti kenaikan harga minyak dunia, bencana alam tsunami, bom Bali II, wabah flu burung, kenaikan suku bunga The Fed dan sebagainya.
Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengklaim telah memenuhi seluruh target yang dibebankan plus bonus dicapainya pengiriman NPWP ke-10 juta (melonjak dari 3,5 juta).
Menteri Perdagangan Mari Pangestu pun punya senjata yaitu ekspor meningkat dan terus mencatat rekor.
Kalau sudah begini, lalu siapa yang akan diganti SBY?
Tak ada yang tahu pasti. Yang santer terdengar adalah menteri keuangan Jusuf Anwar. "Tetapi hingga saat pelantikan nanti, tak ada yang dapat memastikan," ujar seorang mantan menteri.
Kalau Jusuf diganti, pilihannya adalah menempatkan orang baru dari luar kabinet atau melakukan sejumlah pergeseran di kabinet dan menempatkan orang baru di posisi yang ditinggalkan.
Sejumlah skenario
Beberapa skenario beredar. Pergantian menteri keuangan dapat membuka kesempatan bagi SBY melakukan pergeseran di tim ekonomi. Di sini nama Sri Mulyani (saat ini Menteri Ketua Bappenas) disebut-sebut sebagai calon kuat. Siapa mengisi posisi Sri Mulyani? Semula disebut-sebut Purnomo akan digeser ke Bappenas, lalu Hatta ke ESDM. Tetapi skenario itu tak berjalan. Purnomo dan Hatta akan tetap di pos mereka.
Ada pula yang menyebut Mari Pangestu akan digeser ke Bappenas, lalu Aburizal digeser ke Menteri Perdagangan. Hal itu akan memunculkan orang baru di Menko Perekonomian. Tetapi itu bukanlah pilihan mudah bagi SBY mengingat kuatnya dukungan Wapres kepada Aburizal. Sehingga dalam konteks minus malum tadi, barangkali SBY akan mempertahankan Aburizal.
Sesungguhnya bagi masyarakat tidak penting benar siapa yang ada di kabinet. Tetapi kebijakan mereka, yang tentu dengan arahan presiden dan wakil presiden, itu yang lebih penting. Selain itu, para anggota kabinet sebaiknya tidak sibuk menjaga citra pribadinya, apalagi kalau yang dibicarakan itu minus malum pula.

Perebutan pengaruh AS-China di Indonesia

Bisnis Indonesia, 28 September 2005
Dalam konteks geopolitik, pada kurun waktu tertentu di dunia senantiasa ada kelompok negara yang oleh sejumlah pakar disebut negara inti dan periferi. Selama era Perang Dingin, AS dan Uni Sovyet merupakan negara inti yang utama. Keduanya senantiasa berebut pengaruh dan dukungan di negara periferi seperti Indonesia. Presiden Soekarno pernah mencoba membuat jarak dengan kedua kekuatan itu melalui Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Gerakan Non-Blok. Tetapi sejarah mencatat Soekarno akhirnya cenderung ke blok Soviet melalui politik poros Jakarta-Beijing-Moskow itu. Gerakannya itu tentu tak menyenangkan AS, sehingga beberapa saat kemudian posisinya terus digerogoti hingga meletusnya G-30 S PKI dan akhirnya terdepak dari istana. Kekuasaan beralih ke Soeharto yang juga aktif di Gerakan Non-Blok. Pada era ini, dari sudut pandang ekonomi sesungguhnya Indonesia cenderung ke Blok Barat (liberalisasi dan deregulasi) sedangkan langgam politiknya mirip Soviet yang sentralistis dan militeristik. Saat itu, pemilu hanyalah pajangan demokrasi. Tumbangnya Soviet memang membuat AS berada di pusat gravitasi sendirian, hingga kemudian muncul dan semakin kelihatan China menjadi pusat gravitasi baru di dunia. Presiden Abdurrahman Wahid sempat membuat gebrakan dengan poros Indonesia, India, dan China. Tetapi Wahid tumbang sebelum gagasan itu menjadi sebuah kenyataan. Tarik menarik pengaruh AS dan China tampak lebih kencang lagi di era Presiden Megawati Soekarnoputri bersamaan dengan semakin kuatnya persaingan kedua negara di level global. Tarik menarik itu semakin terasa di era Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Coba perhatikan pada akhir Mei 2005, Yudhoyono melakukan kunjungan kenegaraan ke AS. Lalu akhir Juli, presiden melawat ke China diikuti kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla kurang dari 30 hari kemudian (akhir Agustus 2005). Barangkali inilah kali pertama dua pemimpin tertinggi Indonesia mengunjungi satu negara dalam tempo satu bulan. Tetapi dua pekan setelah itu presiden kembali berkunjung ke AS. Memang tidak ada agenda resmi pertemuan Yudhoyono dengan presiden AS George Bush karena tujuan utama SBY adalah berbicara di Sidang Umum PBB di New York. Tetapi perhatikan bahwa kedua pemimpin ini duduk berdampingan pada jamuan makan siang yang diselenggarakan di markas besar PBB. Seperti dituturkan jubir SBY, Dino Patti Djalal, kedua pemimpin tampak akrab dan melakukan pembicaraan intens dalam acara makan selama satu setengah jam. Tentulah banyak hal yang dibicarakan dalam tempo sedemikian lama. Menurut Dino, posisi duduk SBY dan Bush itu sudah diatur sedemikian rupa alias by design, bukan kebetulan. Siapa yang mengatur dan dengan pertimbangan apa tentu banyak interpretasi yang muncul. Apa yang mereka bicarakan, tak ada yang tahu. Tetapi seperti kata pepatah, tak ada makan siang gratis, maka pastilah banyak urusan tingkat tinggi yang dibicarakan kedua pemimpin. Itu adalah pertemuan ketiga kalinya bagi SBY dan Bush, sama banyak dengan pertemuan SBY dengan Hu Jintao, perdana menteri China. Dari sini masih dapat dikatakan skor berimbang. Di level mikro, persaingan pengaruh antara AS dan China itu tak kalah menariknya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama di sektor migas. Kebetulan bahwa pertarungan AS dan China di sektor energi memang berlangsung di hampir semua belahan dunia. Kita masih ingat bagaimana China dan negara kaya minyak di Amerika Latin, Venezuela membangun hubungan. AS yang menggantungkan hampir 15% impor minyaknya dari Venezuela sangat berang dan disebut-sebut berusaha menjungkalkan presiden Hugo Chavez. Akhir bulan lalu, pendeta konservatif AS yang sempat mencalonkan diri menjadi presiden, Pat Robertson sampai harus menganjurkan pembunuhan Chavez, walau kemudian dia meminta maaf. Sempat berang Di level mikro perusahaan, China sempat berang dengan keputusan Unocal (perusahaan migas AS) untuk menerima tawaran akuisisi ChevronTexaco (juga perusahaan AS) walaupun nilainya jauh di bawah yang ditawarkan CNOOC (perusahaan migas China). Padahal bagi China penguasaan atas Unocal sangat strategis karena memiliki operasi migas yang sangat besar di Indonesia. Sebaliknya AS semakin berjaya dari kemenangan Chevron yang memang memiliki PT Caltex Pacific Indonesia, produsen minyak terbesar di Indonesia (50% dari total output). Tetapi China tak tinggal diam. Dalam beberapa tahun terakhir, boleh dibilang China merupakan investor paling agresif di sektor migas Indonesia. Pada awal 2002, China National Oil Overseas Co (CNOOC) mengakuisi seluruh operasi migas Repsol-YPF senilai US$585 juta sehingga menjadikannya produsen minyak lepas pantai terbesar di Indonesia dengan output 125.000 barel per hari. Selanjutnya September 2002, CNOOC juga menandatangani kontrak US$500 juta untuk membeli 2,6 juta ton per tahun gas alam dari Tangguh, Papua. Pada saat hampir bersamaan dengan akuisisi CNOOC atas Repsol-FPF, PetroChina juga berhasil membeli seluruh aset Devon Energy (AS) di Indonesia seharga US$262 juta. Beberapa saat kemudian, PetroChina sudah mendapatkan kontrak kerja sama migas dengan Pertamina di Sukowati dan Tuban, lapangan migas yang bertetangga dengan Blok Cepu yang kontroversial itu. Tak banyak yang memperhatikan kongsi Pertamina-PetroChina saat itu. Rumput tetangga senantiasa kelihatan lebih hijau. Itulah yang dilihat PetroChina. Blok Cepu memang jauh lebih kaya kandungan migasnya dan kebetulan menjadi sengketa antara Pertamina dan ExxonMobil, perusahaan migas terbesar di dunia dari AS. Celah untuk masuk ke Cepu itu memang menjadi terbuka ketika Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie di era Wahid didukung Presiden Direktur Pertamina saat itu Baihaki Hakim menghendaki pengoperasian ladang migas raksasa itu dikelola sendiri oleh Pertamina dan menggusur ExxonMobil. Exxon pun merasa terancam. Lobby tingkat tinggi pun berlangsung dari Jakarta hingga Washington. Di era Megawati, gesekan semakin kencang karena di saat perundingan Cepu itu dihidupkan lagi, Pertamina konon mendapatkan tawaran yang 'lebih menarik' dari PetroChina. Saat itu, petinggi PDI-P disebut-sebut telah didekati PetroChina walaupun samar-samar hanya dinyatakan Menteri BUMN Laksamana Sukardi bahwa Cepu belum tentu diserahkan ke Exxon dan terbuka kemungkinan masuknya investor baru, termasuk PetroChina. Di saat akhir pemerintahannya, Megawati dan kubu 'nasionalis' membuat keputusan bahwa Cepu akan ditangani Pertamina 'sendiri'. Kontan saja Exxon meradang lagi. Megawati berlalu, Yudhoyono langsung bertindak (setelah pertemuan dengan Bush di Cile) dan membentuk tim perunding baru. Hasilnya, Juni 2005 diteken nota kesepahaman, tetapi ditolak manajemen Pertamina (kendati tim itu beranggotakan tujuh orang Pertamina dan tiga orang non-Pertamina). Sejak itu, tak terdengar lagi nama PetroChina, kecuali saling tuding, misalnya si A agen PetroChina, agen China atau si B agen Exxon, agen AS. Di lorong-lorong DPR dan Pertamina nama PetroChina masih coba diangkat sebagai posisi tawar terhadap Exxon dan AS. Tapi Yudhoyono telah mengetok palu bahwa kontrak Cepu harus segera diteken. Sebelum berangkat ke AS akhir pekan lalu, tiga menteri (Menko Perekonomian, Menteri Energi, dan Menneg BUMN) serta dirut Pertamina pun menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan Cepu. Kali ini, kemungkinan besar AS menang lagi melawan China. Tetapi pertarungan pengaruh kedua negara besar itu tak berhenti sampai di sini. Malahan ini barulah babak awal mengingat kekuatan China yang makin besar dan membutuhkan energi (impor) dalam jumlah besar untuk menopang ekonomi dan geopolitiknya.

Menanti babak akhir Kiani Kertas & Bank Mandiri

Bisnis Indonesia, 24 November 2005
Delapan tahun lalu, penulis merupakan satu diantara puluhan wartawan dalam dan luar negeri yang diundang meliput peresmian pabrik pulp PT Kiani Kertas di Mangkajang, Kalimantan Timur.
Sehari sebelum peresmian oleh Presiden Soeharto, penulis mengikuti jumpa pers, dengan pembicara utama Mohammad 'Bob' Hasan (sang pemilik Kiani). Masih teringat bagaimana sulitnya mendapatkan wawancara khusus dengan Bob. Wartawan lokal hanya bisa bergumam ketika Bob lebih memilih wawancara khusus dengan jaringan TV AS CNN.
Ketika memasuki ruang konferensi pers, beberapa muka yang familiar juga bermunculan. Diantaranya adalah Fuad Bawazier (saat itu Dirjen Pajak) dan Rini MS Soewandi (petinggi Astra International). Biasanya untuk acara peresmian pabrik di era itu, para pejabat eselon I departemen terkait, khususnya di sektor industri memang wajib hadir. Tetapi dirjen pajak?
Para wartawan baru maklum dengan kehadiran Fuad ketika Bob mengatakan pabrik pulp yang dibangun di tengah hutan belantara (tetapi dilengkapi airstrip yang cukup untuk mendaratkan pesawat berpenumpang 100 orang) itu layak mendapatkan fasilitas 'libur dari membayar pajak' alias tax holiday.
Pada semester II 1997, Presiden Soeharto memang akhirnya memberikan tax holiday untuk jangka waktu lima hingga 10 tahun kepada enam perusahaan, termasuk Kiani Kertas. Kiani mendapatkan fasilitas bebas pajak 10 tahun.
Hanya sedikit ekonom yang mengritik secara pedas kebijakan itu. Tercatat ekonom UGM Revrisond Baswir menilai kebijakan tax holiday yang selektif itu tidak demokratis. Tidak jelas benar apakah fasilitas itu masih berlaku atau tidak sampai saat ini.
Dari mana Bob mendapatkan dana untuk membangun Kiani?
Kredit macet
Semula nilai investasi Kiani Kertas direncanakan US$975 juta. Namun kemudian membengkak menjadi US$1,3 miliar. Sebagian besar bersumber dari utang.
Utang luar negeri tercatat US$670 juta, sedangkan utang ke perbankan dalam negeri saat itu tercatat sekitar US$450 juta. Pada Maret 1997, Kiani Kertas memperoleh fasilitas kredit sindikasi yang dipimpin Sumitomo Bank (Singapura) dan diikuti 24 kreditor asing dengan total pinjaman US$120 juta.
Utang dalam negeri itu sebagian berasal dari Bank Umum Nasional milik Bob sendiri serta sejumlah bank plat merah yang kemudian macet dan diserahkan ke BPPN.
Tidak ada penjelasan mengapa kredit Kiani itu menjadi macet hanya dalam periode dua tahun sejak dikucurkan. Apakah bank-bank, termasuk bank plat merah, ketika itu melakukan analisis kredit secara benar? Apakah mereka menyalurkan kredit hanya karena nama besar Bob Hasan dan kedekatannya dengan Presiden Soeharto kala itu?
Kenyataannya, kredit macet dari berbagai bank itulah yang kemudian dialihkan ke BPPN. Selanjutnya pemerintahan era reformasi merestui usulan BPPN untuk merestrukturisasi kredit macet Kiani senilai US$628,4 juta.
Dari jumlah itu, US$226,5 juta diperpanjang 10 tahun, termasuk masa tenggang dua tahun, dengan tingkat bunga 12% per tahun. Sementara US$246,6 juta dikonversi menjadi obligasi jenis mandatory convertible bonds. BPPN pun mengklaim bahwa program restrukturisasi itu akan memberikan tingkat pembayaran hingga 47,7% dari total utang Kiani kepada negara.
Kenyataannya, pada 15 November 2002, konsorsium investor pimpinan Prabowo Subianto dengan dukungan pendanaan dari Bank Mandiri membeli seluruh aset kredit Kiani (termasuk non-Kiani Kertas) hanya dengan Rp1,7 triliun.
Di luar urusan kredit macet, Bob Hasan juga menyerahkan seluruh sahamnya di Kiani Kertas ke BPPN untuk melunasi utang Rp5,4 triliun terkait penutupan BUN. Penyerahan saham itu, termasuk sejumlah aset lain, membuat Bob terbebas dari tuntutan pidana perbankan yaitu pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Kredit (BMPK) melalui perjanjian yang dikenal sebagai Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Bob tidak sendirian. Salim, Nursalim, Ongko, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad termasuk pengusaha kakap yang teken perjanjian jenis ini.
Saham Bob itu kemudian dijual oleh BPPN dan sekali lagi jatuh ke pelukan Prabowo. Sayang, sampai saat ini tidak jelas berapa harga yang dibayar Prabowo untuk membeli mayoritas saham Kiani Kertas tersebut. Jadi, tidak pernah jelas hingga kini berapa tingkat pengembalian dari utang negara kepada Bob Hasan.
Transaksi itu sempat dipersoalkan, terutama adanya kekhawatiran aset kredit Kiani itu akan merusak kinerja Bank Mandiri. Tetapi baik direksi Mandiri maupun Bank Indonesia ketika itu berargumentasi bahwa sesuai ketentuan, Mandiri dapat membeli kredit macet dari BPPN, seperti halnya bank lain, asalkan dalam satu tahun kualitas kreditnya berubah menjadi lancar.
Kenyataannya, selama satu tahun sejak pembelian kredit itu, kondisi kredit Kiani Kertas tidak dapat direstrukturisasi. Kegagalan Bank Mandiri dalam merestrukturisasi kredit macet Kiani itu mudah ditebak mengakibatkan neraca bank plat merah itu terganggu karena harus menyisihkan pencadangan kerugian sebesar Rp1,7 triliun pada neraca yang berakhir Desember 2003.
Saat itu, dampak finansialnya tertutupi tingginya laba bersih Bank Mandiri. Toh, Bank Indonesia tetap memberikan peringatan berkali-kali kepada Bank Mandiri untuk segera merestrukturisasi utang Kiani. Setiap kali masalah itu ditanyakan kepada Bank Mandiri, direksi bank itu menyatakan bahwa aset Kiani jauh lebih besar dari nilai kreditnya, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Bank itu juga mendesak pemilik Kiani untuk segera menyuntik dana segar dan kalau tidak mampu harus menarik investor baru. Beberapa nama lalu beredar. Mirzan Mahathir, putra Mahathir Mohammad (mantan Perdana Menteri Malaysia), sempat disebut-sebut akan masuk ke Kiani. Ashmore, Amrock, Sultan Brunei, Siam Cement adalah nama-nama lain yang muncul di media massa.
Tetapi hingga munculnya laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir April 2005 yang kemudian menyeret tiga direktur Bank Mandiri (ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan Sholeh) ke pengadilan, Kiani belum kunjung diselamatkan. Maka Prabowo pun sempat dipanggil Kejaksaan Agung untuk mengklarifikasi pembelian kredit dari BPPN itu. Di Kejakgung, Prabowo mengatakan kredit Kiani itu telah macet enam tahun sebelum dia masuk. Prabowo lolos, namun tiga direktur Mandiri itu terjerat, bukan karena kasus Kiani tetapi pembelian kredit macet Tiara Medan oleh PT CGN.
Sulit ditebak
Sejak itu, manajemen baru Bank Mandiri mencoba merestrukturisasi Kiani. Enam bulan telah berlalu. Nama-nama yang beredar untuk membeli aset Kiani itu berseliweran. Empat bulan lalu, United Fiber System (perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Wisanggeni Lauw, keponakan salah satu konglomerat industri perkayuan) yang membeli aset HTI milik Probosutedjo di Kalimantan, mengklaim telah mengikat perjanjian dengan Prabowo.
Semula UFS berkongsi dengan JP Morgan. Namun beberapa waktu kemudian kongsi itu bubar dan jalan sendiri-sendiri. UFS lalu menggandeng Deutsche Bank. Selanjutnya masing-masing investor mengklaim telah 'deal' dengan Prabowo. Kenyataannya, tak satu pun yang benar-benar pasti.
Pekan lalu, koran Financial Times malah menulis bahwa manajemen Bank Mandiri tengah berunding dengan pemilik Asia Pulp & Paper (keluarga Wijaya) untuk membeli saham Prabowo.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Ekoputro Adijayanto pun mengakui Sinar Mas sebagai salah satu dari investor yang berminat membeli Kiani. Sayang dia tak dapat mengkonfirmasikan kebenaran pembicaraan antara Mandiri dan Sinar Mas. Namun, sejumlah sumber menyebutkan perundingan telah berlangsung intensif sejak pertemuan petinggi Mandiri di sela-sela kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke China beberapa waktu lalu. Mandiri mengakui perundingan awal dengan Sinar Mas, namun Sinar Mas membantah.
APP yang dikendalikan kelompok Sinar Mas merupakan salah satu nasabah Bank Mandiri. Bila rencana itu terlaksana, APP akan menjadi semakin kuat di industri pulp dan kertas, karena saat ini saja sudah menjadi pemain terbesar di Tanah Air.
Nama-nama besar di atas tentu membuat babak akhir Kiani Kertas di Mandiri ini sulit ditebak. Apalagi kreditor yang kecewa pun siap mengambil ancang-ancang memailitkan Kiani. Maka, kalau babak selanjutnya adalah pengadilan, menjadi pertanyaan, bagaimana buku Mandiri hingga akhir tahun ini?
Tentu tidak mudah bagi investor baru masuk ke Kiani bila ada ancaman pailit. Sebab, siapa mau menghabiskan US$600 juta untuk membeli saham dan kredit macet Kiani bila harus direcokin urusan hukum?
Itu berarti, status kredit Kiani akan terus mengganggu Mandiri. Padahal penyelesaian Kiani yang cepat akan memoles laporan keuangan Mandiri tahun ini.
Kenapa? Karena pada semester I 2005 kinerja perseroan merosot tajam. Bila investor baru dapat membeli Kiani sebelum tutup tahun maka Mandiri akan memperoleh pendapatan luar biasa mengingat kredit itu telah dicadangkan sebagai kerugian dalam neraca bank dua tahun terakhir.
Apalagi debitor macet lain, Domba Mas, disebut-sebut telah melunasi utang sebesar Rp1,3 triliun ke Mandiri. Dana pelunasan itu antara lain dari pinjaman US$200 juta yang diatur Credit Suisse First Boston.

Inflasi kata-kata dan inflasi uang

Bisnis Indonesia, 8-9 November 2005
Menjelang tutup tahun 2004, tepatnya 22 Desember, Menko Perekonomian Aburizal Bakrie di depan ratusan wartawan memaparkan kinerja ekonomi 2004 dan arah 2005. Saat itu Bakrie memperkirakan inflasi akan stabil di kisaran 5%-7% walaupun harga BBM dinaikkan.
Untuk nilai tukar dia menduga akan stabil di kisaran Rp8.700 hingga Rp9.200 per dolar AS, sedangkan suku bunga SBI tak akan berubah dan diupayakan berkisar di 7%-8%.
Tentu saja angka-angka yang keluar dari mulut Bakrie itu tidak datang dari langit dan sedianya merupakan hasil perhitungan cermat dari para ekonom dan pejabat tim ekonomi pemerintah.
Menurut catatan, sejumlah ekonom kondang yang rajin menulis pandangan mereka di media massa berada di tim ekonomi pemerintah. Mereka antara lain Mari Pangestu (UC Davis, Menteri Perdagangan), Sri Mulyani Indrawati (Illinois University, Ketua Bappenas), dan Jusuf Anwar (Vanderbilt, Menteri Keuangan). Penasihat ekonomi Presiden SBY juga seorang ekonom kondang yaitu Dr Sjahrir (Harvard).
Di lapisan kedua ada M. Chatib Basri (Australian National University, staf ahli Menko Perekonomian) atau Anggito Abimanyu (University of Pensylvania, Depkeu).
Manisnya pernyataan para ekonom dan pejabat seperti diberi pembenaran ketika pada April 2005, seorang ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) bernama Amanah Abdul Kadir datang ke Jakarta membawa kabar bahwa tingkat inflasi di Indonesia tahun ini akan lebih rendah dari 5%, jauh di bawah target inflasi APBN (kesepakatan bersama pemerintah dan DPR) sebesar 7,3%.
Hal itu berarti ADB justru sedikit lebih pesimistis dari pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang merancang APBN 2005 dengan target inflasi 5,5%, tetapi jelas lebih optimistis dibandingkan pemerintah SBY-JK.
Waktu itu, tidak ada yang mendebat, padahal bulan sebelumnya pemerintah baru menaikkan harga BBM hingga 30%. Bank Indonesia yang juga bertugas mengendalikan inflasi melalui berbagai instrumen moneternya, ketika itu memperkirakan dampak kenaikan BBM terhadap inflasi hanya 0,65% secara langsung dan 0,58% secara tidak langsung.
Dengan gagah berani, sang ekonom menyampaikan argumentasi di balik proyeksi inflasi 5,9% itu.
Pertama, kenaikan harga minyak dunia tak sebesar tahun 2004. Harga minyak dunia tidak akan melonjak karena Amerika Serikat dan China akan cenderung menahan diri untuk melakukan pembelian untuk mencegah kepanikan ekonomi dunia.
Kedua, nilai mata uang regional Asia akan menguat sehingga daya beli terhadap produk Indonesia menguat. Di sisi lain, iklim usaha di Indonesia membaik dapat menekan biaya produksi sehingga daya saing eksportir lebih tinggi.
Ketiga, kenaikan harga BBM pada akhirnya diikuti kenaikan harga yang lebih rasional karena masyarakat pun akan mengurangi konsumsi.
Kontan saja para pejabat pemerintah langsung sumringah, karena orang asing menilai prospek ekonomi 2005 lebih baik dan meredam kritik bahwa kenaikan BBM 30% tidak pro-rakyat kecil dan me-micu inflasi.
Beberapa hari kemudian, masih bulan April, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah giliran angkat bicara soal inflasi. Dia meralat pernyataan sebelumnya bahwa tingkat inflasi tahun ini mencapai 8,8%. BI, lanjut sang gubernur usai bertemu Kepala Negara memperkirakan tingkat inflasi 2005 hanya 7%.
Kenyataannya, sebagian besar asumsi yang dipakai ekonom ADB itu meleset. Harga minyak sempat mendekati US$80 per barel, nilai tukar rupiah menjebol Rp10.000 per dolar AS, dan iklim usaha tak membaik sehingga daya saing perusahaan justru menurun.
Lonjakan harga minyak dan terus merosotnya nilai rupiah membuat sejumlah ekonom mengingatkan pemerintah bahwa target inflasi 7,3% akan terlampaui. Maka pemerintah pun merevisi target inflasi ke 8,6%.
Menjelang kenaikan harga BBM, sekitar September 2005, para ekonom baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan sama-sama membuat proyeksi.
Para ekonom pemerintah mengatakan berdasarkan pengalaman inflasi tambahan karena kenaikan harga BBM adalah 1%-2% sehingga tingkat inflasi tahunan bakal mendekati 10%. Inflasi demikian bersifat sekali (eenmalig) dan setelah itu terjadi keseimbangan baru. Mereka umumnya menggunakan model computable general equilibrium yang menunjukkan dampak inflasi dari kenaikan harga BBM rata-rata 30% adalah 0,7%-1,2%.
Semua terbukti meleset. Maka beberapa hari setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada 1 Oktober, Gubernur BI menyatakan tingkat inflasi dapat menembus 14%, jauh di atas target sebelumnya yang cukup optimistis yaitu 12%. Pernyataan itu membuat pemerintah seperti tertampar.
Ekonom Sri Mulyani yang kini menteri dan ketua Bappenas buru-buru mengomentari pernyataan Gubernur BI itu sebagai sebuah sikap pesimisme. Dia tetap yakin tingkat inflasi 12%.
Sang bos, Aburizal Bakrie, pun mendukung pernyataan Sri Mulyani itu dan mengatakan pemerintah akan melakukan operasi pasar tanpa penjelasan operasi pasar apa, mengingat pemerintah bukanlah produsen semua jenis barang yang harganya bisa diatur sesuka hati. Ical bahkan yakin dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi paling banter 3% sehingga inflasi tahunan hanya sekitar 10%-11%. Sang penjaga fiskal, Menkeu Jusuf Anwar malahan masih yakin tingkat inflasi 10% hingga akhir tahun.
Beruntunglah bahwa baik Gubernur BI maupun para menteri dan ekonom, semuanya salah dalam memproyeksikan inflasi. Pengumuman Biro Pusat Statistik (BPS) pada 1 November semestinya membuat merah kuping para ekonom, pejabat pemerintah, dan gubernur BI karena gagal membuat prediksi yang lebih presisi.
Menurut statistik BPS, tingkat inflasi hingga akhir Oktober telah mencapai 17,89% (dihitung dari Oktober 2004) dan 15,65% untuk tahun fiskal 2005 (Januari-Oktober). Inilah tingkat inflasi bulanan dan tahunan tertinggi selama empat tahun terakhir.
Apa respons pemerintah?
Prihatin. Begitulah pernyataan Jubir SBY Andi Alfian Mallarangeng yang konon memerintahkan Aburizal mencari solusi. Andi, seperti dikutip sejumlah media massa, mengatakan sebagai ekonom, presiden SBY (meraih gelar doktor dari IPB, Bogor) mengetahui betul cara mengatasinya. Sayangnya ketika ditanya wartawan apa solusi untuk mengatasi inflasi, Andi minta wartawan bertanya ke Menko Aburizal.
Lalu apa jawab Aburizal?
Dia menjelaskan penyebab inflasi, tak berbeda jauh dengan penjelasan BPS. Aburizal membuat perkiraan tingkat inflasi hingga akhir tahun melampaui 17%. Jawaban serupa keluar dari mulut Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Solusinya?
Menjaga pasokan makanan. Kalla malahan menjamin inflasi November ini akan lebih rendah atau bahkan negatif. Tentu bukan jaminan yang mudah dipenuhi mengingat faktor produksi dan distribusi yang dikuasai pemerintah tak seberapa. Mayoritas dikuasai partikelir.
BI langsung menaikkan suku bunga BI Rate sebesar 125 poin sehingga menjadi 12,25%. Tetapi pagi-pagi baik pemerintah maupun BI sudah melempar proyeksi inflasi tahun depan sekitar 6%-8%.
Dari mana datangnya angka ini? Sudahkah memperhitungkan rencana kenaikan tarif listrik 30% awal tahun depan? Sudahkah memperhitungkan kenaikan lanjutan suku bunga menyusul langkah The Fed?
Sungguh menggelikan bila para ekonom, pejabat pemerintah maupun BI, membaca kembali berita-berita di media massa selama satu tahun terakhir. Mereka tampak seperti tak benar-benar melakukan kalkulasi yang cermat. Akibatnya pernyataan seputar inflasi begitu mudah diobral seolah-olah tak punya arti.
Angkanya pun seperti datang dari langit melalui wahyu atau nubuat. Padahal inflasi dalam kata kunci dari pengelolaan ekonomi makro sebuah negara. Sehingga di sejumlah negara, para pejabat terkait sangat hati-hati berbicara soal angka inflasi. Karena dunia usaha umumnya menjadikan angka itu sebagai patokan.
Beberapa teman kantor mengeluh karena gajinya hanya naik 10% gara-gara target inflasi pemerintah di bawah 10%, sementara kenyataannya tingkat inflasi telah melampaui 15%. Entah berapa banyak perusahaan di tanah air yang mungkin telah menaikkan gaji karyawannya di sekitar target inflasi.
Begitulah kata-kata menjadi sangat dahsyat kekuatannya di era informasi ini, sehingga mereka yang mengucapkannya pun harus mengelola dengan benar. Para ekonom yang memasak angka inflasinya pun harus benar-benar menggunakan bahan baku dan metodologi yang benar.
Inflasi kata-kata (termasuk gambar dan citra) biasanya menjadi penyebab inflasi uang dan harta benda, bukan sebaliknya.
Tahun ini, boleh dibilang inflasi kata-kata telah melampaui 130% sehingga mengakibatkan kenaikan target inflasi dari 7% menjadi 17%. Tiada hari tanpa pernyataan yang saling berseberangan, sibuk membantah, atau meralat. Harga barang, misalnya, telah naik jauh sebelum pemerintah benar-benar menaikkan harga BBM.
Maka, solusi pertama untuk meredam inflasi adalah dengan mengendalikan mutu pernyataan dari mulut para pejabat tinggi negara untuk tidak asal bicara.
Karena rakyat cukup pandai untuk membaca dan menganalisis ucapan serta mencocokkan dengan realitas.

Menghindari jebakan politisasi tsunami

8 Januari 2005
Tak ada kata yang lebih tepat kecuali politisasi besar-besaran atas bencana tsunami di Asia Selatan dan Tenggara oleh negara-negara maju, terutama Amerika Serikat.
Memperhatikan bagaimana masyarakat dan pemerintah AS memberikan respons atas bencana kemanusiaaan ini, tampak jelas betapa banyak pihak berusaha mencari keuntungan politik.
Pada hari pertama berita tsunami ini mencuat, respons negara maju seperti AS sangat minim. Kubu Demokrat, termasuk mantan presiden Bill Clinton, lalu melancarkan kritikan terhadap pemerintah AS pimpinan George W. Bush.
Kubu Bush lalu menanggapi kritikan itu dengan mengatakan kubu Demokrat mencoba mengambil keuntungan dari lamban dan minimnya respons Bush. Mencoba memperlunak perbedaan yang memang telah melebar antara kubu Demokrat dan Republik sejak kampanye pemilu presiden AS lalu, Bush lalu mengangkat Clinton dan ayahnya Bush senior sebagai pemimpin penggalangan dana di AS untuk tsunami.
Barulah setelah itu, jumlah komitmen bantuan AS meningkat menjadi US$350 juta. Jumlah itu tak ada apa-apanya dibandingkan jumlah anggaran yang diajukan Bush untuk membiayai perang di Irak yang untuk tahun depan saja diperkirakan US$100 miliar.
Bush lalu mengirim Colin Powell (Menlu) dan Jeb Bush (gubernur Florida) ke kawasan yang terkena tsunami, dengan sorotan luas di media massa AS.
Thailand merupakan negara pertama yang dikunjungi Powell dan Jeb, sebuah bentuk kedekatan politik kedua negara, terutama karena Thailand mengirimkan pasukan untuk mendukung operasi militer di Irak.
Media massa AS lebih banyak menurunkan laporan dan debat seputar apakah reaksi pemerintahan Bush terlalu lamban dan minim. Lebih menyedihkan, media massa AS lebih menampilkan diri mereka sebagai pembela Bush bahwa respons yang diberikan telah tepat dan cepat.
Bahkan dengan mengutip beberapa pemuka Islam di Indonesia, media massa AS seolah-olah ingin mengatakan dunia Islam mengakui kemurahan hati AS. Apalagi dengan mengklaim bahwa bantuan dan kemurahan hati AS ini akan melunakkan sikap anti-Amerika dan anti-Barat di negara berpenduduk Muslim terbesar seperti Indonesia.
Menjadi sorotan pula bagaimana Bush mengerahkan militer ke kawasan tsunami yang lalu disebut sebagai Mission Mercy, bagaimana mereka membantu korban dan mereka yang selamat, dan seterusnya.
Tengok pula bagaimana perbincangan Bill First, pemimpin Partai Republik di Congress, di CNN. First lebih tampak berusaha mencari manfaat politik terkait kemungkinan pencalonannya sebagai presiden dalam pemilu 2008.
Pemerintahan Bush yang memang telah rusak citranya di seluruh dunia karena kebijakan luar negerinya, jelas berusaha menjadikan tsunami ini sebagai momentum untuk mencuci diri dengan menyatakan betapa masyarakat dan pemerintah AS sangat peduli, kendati Indonesia secara khusus disorot sebagai tempat teroris berkembang.
Politisasi dari pihak AS sangat jelas dalam pernyataan Powel dalam misinya ke kawasan tsunami."The rest of world is being given an opportunity to see American generosity, American values in action. America is not an anti-Islamic, anti-Muslim society. We respect all religions."
American Values adalah perang di Irak dan membantu korban tsunami di Aceh. American Generosity yang dimaksud Powell tentulah berbeda dengan yang dibicarakan warga AS. Coba perhatikan bagaimana Fox News menyoroti seorang warga Aceh yang kebetulan memakai kaus oblong bergambar Osama bin Laden ketika menerima bantuan dari tentara AS.
Fox lalu berkesimpulan betapa AS tetap membantu Indonesia, kendati warganya bersimpati ke Osama yang notabene musuh besar AS. Kesimpulan yang sangat konyol dan terlalu membesar-besarkan hal kecil.
Untuk apa Powell bicara soal sentimen anti-Islam atau anti-Muslim ketika hadir di Jakarta?
Tiada lain untuk memberi kesan bahwa AS yang telah memerangi Afghanistan dan Irak kini membantu negara dengan mayoritas penduduk Muslim di Indonesia, meminta sebuah dukungan terhadap apa yang dilakukan AS di Irak dan Afghanistan. Menyadari motif politik di balik bantuan kemanusiaan itulah, India dengan tegas menolak bantuan dari negara maju.
PM India Manmohan Singh telah memberitahu Bush dan pemimpin dunia lain bahwa India belum membutuhkan bantuan mereka. India lebih suka menggunakan cadangan devisa dan menggali sumber dana domestik untuk membantu para korban tsunaminya.
Tak berhenti di situ, India juga mengirim bantuan militer dan medis ke tetangganya Sri Lanka, Thailand, hingga Indonesia.
Tentu India punya motif politik tersendiri dengan menolak bantuan negara maju. Mereka ingin mengatakan bahwa mereka telah lulus dari negara penerima bantuan dan menjadi negara donor yang tak mau ketinggalan mendapat keuntungan politik seperti AS atau China, dua negara superpower yang diakui dunia saat ini. India tentu ingin menunjukkan bahwa suatu ketika mereka juga dapat menjadi superpower.
Thailand pun menolak bantuan Jerman dan Prancis, karena khawatir justru akan meningkatkan beban utangnya di kemudian hari. Tetapi Thailand tidak menolak bantuan AS, suatu motif politik tersendiri.
Kerahkan dana domestik
Haruskah Indonesia bersikap seperti India dan Thailand? Sebenarnya tergantung kreativitas pemerintah dalam mengerahkan dana domestik. Andai saja orang kaya di Indonesia mau mengubah orientasi penggunaan dananya, pastilah dana Rp20 triliun untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh tak sulit diperoleh.
Mungkin Indonesia memang tak dapat bersikap ekstrim seperti India dan belum saatnya menunjukkan kedigdayaan, karena baru saja keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Tetapi sangat berlebihan bila pagi-pagi pemerintah memberikan imbalan politik ke negara-negara maju seperti AS atau Australia, dua negara yang sangat kental motif politiknya di Indonesia.
Masuknya China, Qatar, Kuwait atau Norwegia ke liga negara-negara donatur terbesar dalam bencana tsunami ini tentu membuat Washington dan sekutunya tak dapat begitu saja berharap motif politiknya akan berbuah hasil. India dan China telah memberikan pelajaran sangat berharga bagi AS dan sekutunya bahwa bantuan kemanusiaan yang mereka klaim tidak bisa membeli dukungan politik negara miskin seperti Indonesia begitu murah.
Karena itu, terlalu dini kiranya bagi presiden SBY untuk mengeluh bahwa negara-negara donor cuma ngomong tetapi bantuan tak cair.
Alangkah lebih bijak bila SBY mengatakan, "Kita tidak bisa mengandalkan negara donor untuk merekonstruksi Aceh dan kawasan tsunami. Kita bisa mengerahkan sumber daya domestik terlebih dahulu."
Misalnya meminta perhatian lebih besar dari ExxonMobil, perusahaan AS yang telah beroperasi dan mengeruk keuntungan lebih dari 25 tahun dari ladang gas alam di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Kalau kita menempatkan bantuan negara besar sebagai tiang utama, besar kemungkinan kita tidak dapat menghindari jebakan politik yang mereka pasang terhadap masa depan dan wibawa kita sebagai negara besar.

Tuesday, July 12, 2005

AAF to send home 800 workers

Ammonia, Urea, and hydrogen peroxide producer PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) will temporarily lay off 800 workers due to natural gas unavailability for almost two years already. The decision is expected to be taken in a shareholders meeting scheduled July 16.
AAF president director Rauf Purnama said the company's future is very much rely on newly developed gas fields in Block A, off Malacca Strait.
"But we have to wait two more years to get gas supply from these fields," he said yesterday after a meeting with Indonesian vice president Jusuf Kalla as quoted by Kompas today.
AAF shareholders are Indonesian government with 60%, while Malaysia, Philippines, and Thailand governments with 13% respectively, and Singapore with 1%. AAF started its ammonia and urea production in early 1970s, while its hydrogen peroxide plant went on stream just few years ago.
AAF needs average of 60 MMSCFD of natural gas supply that previously supplied by PT Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) Inc. But EMOI itself is struggling to fulfil its LNG export contract to Japanese customers.

Monday, July 11, 2005

INDEF & APP versus Vulture Investors

Is it a coincidence that three staffs of INDEF (Institute for what?), Iman Sugema, Aviliani, and Usman Hidayat published two articles at two major newspapers at the same time with the same message?

Today, Tuesday, July 12, Kompas published Iman’s article titled Activities of Vulture Investor while Bisnis Indonesia published Aviliani and Usman’s with title Learning from corporate debt restructuring

Last week, Bisnis Indonesia (July 5) also run M Fadhil Hasan's article titled Bad Vulture Investor & APP. Fadhil is director at INDEF.

While their writing structure quite different, the messages are all the same. Both articles cited the only case of Asia Pulp & Paper. Both agreed that APP is a victim of vulture investors. No counter argument at all, things that should be done by those who claimed themselves as analysts.

I could understand if INDEF is taking side with APP. But how come both newspapers didn’t edit these imbalanced articles carefully? Did they just too naïve to believe in INDEF’s claim of independency or to believe that these articles came out of nowhere all of a sudden for free? It is an advocacy for APP or a kind of advertising that newspapers should charge upon…

Both Iman’s and Aviliani’s article failed to consider how much loss APP has made to the state, to the Indonesian people?

We have to remember that APP is no saint. APP left Bank International Indonesia (BII) with trillions of bad debts that should be bailed out by government bonds.

Gas feedstock problem at Aceh's fertilizer plants

For almost a decade, urea fertilizer plants in Aceh province, Indonesia has struggled to secure natural gas supply from next door gas producer PT Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) Inc. Initially, there were two urea plants operated separately by PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) and PT Aseah Aceh Fertilizer (AAF) with combined capacity of around 1.2 million tones per year. Both plants have already been in operation since 1970s. They relied on the same source with liquefied natural gas (LNG) plant operated by PT Arun LNG, a joint venture between Pertamina, Exxon, and Japanese companies.
But depleting natural gas reserves combined with long military conflict in the surrounding area of Lhokseumawe, Aceh between Indonesian military (TNI) and Free Aceh Movement (GAM), had worsened gas supply for both PIM and AAF. In the meantime, both companies embarked on expansion projects which significantly needs additional gas supply. AAF built a hydrogen peroxide plant, while PIM built the second ammonia and urea units with additional capacity of 330,000 tones and 570,000 tones per year respectively.
Both projects were supposed to get natural gas supply from other sources than EMOI which is new gas fields off Malacca Strait. But until the kick off operations of both new plants, no new gas sources onstream. As expected, it's a fiasco. AAF and PIM have to run their plants on and off, largely depend on level of gas output produced by EMOI and their export commitment to Japanese LNG customers.
Despite Indonesian government's efforts to ask EMOI to supply gas to PIM and AAF (both state-owned enterprises), none of the plants could run at normal operating rates. Government then let PIM to export most of its output so it could buy natural gas to fulfil EMOI's export commitment. Government and PIM is said to have started negotiation with other LNG producers in Qatar to meet long-term demand for PIM. Would it be a good solution?