Friday, November 25, 2005

Menghindari jebakan politisasi tsunami

8 Januari 2005
Tak ada kata yang lebih tepat kecuali politisasi besar-besaran atas bencana tsunami di Asia Selatan dan Tenggara oleh negara-negara maju, terutama Amerika Serikat.
Memperhatikan bagaimana masyarakat dan pemerintah AS memberikan respons atas bencana kemanusiaaan ini, tampak jelas betapa banyak pihak berusaha mencari keuntungan politik.
Pada hari pertama berita tsunami ini mencuat, respons negara maju seperti AS sangat minim. Kubu Demokrat, termasuk mantan presiden Bill Clinton, lalu melancarkan kritikan terhadap pemerintah AS pimpinan George W. Bush.
Kubu Bush lalu menanggapi kritikan itu dengan mengatakan kubu Demokrat mencoba mengambil keuntungan dari lamban dan minimnya respons Bush. Mencoba memperlunak perbedaan yang memang telah melebar antara kubu Demokrat dan Republik sejak kampanye pemilu presiden AS lalu, Bush lalu mengangkat Clinton dan ayahnya Bush senior sebagai pemimpin penggalangan dana di AS untuk tsunami.
Barulah setelah itu, jumlah komitmen bantuan AS meningkat menjadi US$350 juta. Jumlah itu tak ada apa-apanya dibandingkan jumlah anggaran yang diajukan Bush untuk membiayai perang di Irak yang untuk tahun depan saja diperkirakan US$100 miliar.
Bush lalu mengirim Colin Powell (Menlu) dan Jeb Bush (gubernur Florida) ke kawasan yang terkena tsunami, dengan sorotan luas di media massa AS.
Thailand merupakan negara pertama yang dikunjungi Powell dan Jeb, sebuah bentuk kedekatan politik kedua negara, terutama karena Thailand mengirimkan pasukan untuk mendukung operasi militer di Irak.
Media massa AS lebih banyak menurunkan laporan dan debat seputar apakah reaksi pemerintahan Bush terlalu lamban dan minim. Lebih menyedihkan, media massa AS lebih menampilkan diri mereka sebagai pembela Bush bahwa respons yang diberikan telah tepat dan cepat.
Bahkan dengan mengutip beberapa pemuka Islam di Indonesia, media massa AS seolah-olah ingin mengatakan dunia Islam mengakui kemurahan hati AS. Apalagi dengan mengklaim bahwa bantuan dan kemurahan hati AS ini akan melunakkan sikap anti-Amerika dan anti-Barat di negara berpenduduk Muslim terbesar seperti Indonesia.
Menjadi sorotan pula bagaimana Bush mengerahkan militer ke kawasan tsunami yang lalu disebut sebagai Mission Mercy, bagaimana mereka membantu korban dan mereka yang selamat, dan seterusnya.
Tengok pula bagaimana perbincangan Bill First, pemimpin Partai Republik di Congress, di CNN. First lebih tampak berusaha mencari manfaat politik terkait kemungkinan pencalonannya sebagai presiden dalam pemilu 2008.
Pemerintahan Bush yang memang telah rusak citranya di seluruh dunia karena kebijakan luar negerinya, jelas berusaha menjadikan tsunami ini sebagai momentum untuk mencuci diri dengan menyatakan betapa masyarakat dan pemerintah AS sangat peduli, kendati Indonesia secara khusus disorot sebagai tempat teroris berkembang.
Politisasi dari pihak AS sangat jelas dalam pernyataan Powel dalam misinya ke kawasan tsunami."The rest of world is being given an opportunity to see American generosity, American values in action. America is not an anti-Islamic, anti-Muslim society. We respect all religions."
American Values adalah perang di Irak dan membantu korban tsunami di Aceh. American Generosity yang dimaksud Powell tentulah berbeda dengan yang dibicarakan warga AS. Coba perhatikan bagaimana Fox News menyoroti seorang warga Aceh yang kebetulan memakai kaus oblong bergambar Osama bin Laden ketika menerima bantuan dari tentara AS.
Fox lalu berkesimpulan betapa AS tetap membantu Indonesia, kendati warganya bersimpati ke Osama yang notabene musuh besar AS. Kesimpulan yang sangat konyol dan terlalu membesar-besarkan hal kecil.
Untuk apa Powell bicara soal sentimen anti-Islam atau anti-Muslim ketika hadir di Jakarta?
Tiada lain untuk memberi kesan bahwa AS yang telah memerangi Afghanistan dan Irak kini membantu negara dengan mayoritas penduduk Muslim di Indonesia, meminta sebuah dukungan terhadap apa yang dilakukan AS di Irak dan Afghanistan. Menyadari motif politik di balik bantuan kemanusiaan itulah, India dengan tegas menolak bantuan dari negara maju.
PM India Manmohan Singh telah memberitahu Bush dan pemimpin dunia lain bahwa India belum membutuhkan bantuan mereka. India lebih suka menggunakan cadangan devisa dan menggali sumber dana domestik untuk membantu para korban tsunaminya.
Tak berhenti di situ, India juga mengirim bantuan militer dan medis ke tetangganya Sri Lanka, Thailand, hingga Indonesia.
Tentu India punya motif politik tersendiri dengan menolak bantuan negara maju. Mereka ingin mengatakan bahwa mereka telah lulus dari negara penerima bantuan dan menjadi negara donor yang tak mau ketinggalan mendapat keuntungan politik seperti AS atau China, dua negara superpower yang diakui dunia saat ini. India tentu ingin menunjukkan bahwa suatu ketika mereka juga dapat menjadi superpower.
Thailand pun menolak bantuan Jerman dan Prancis, karena khawatir justru akan meningkatkan beban utangnya di kemudian hari. Tetapi Thailand tidak menolak bantuan AS, suatu motif politik tersendiri.
Kerahkan dana domestik
Haruskah Indonesia bersikap seperti India dan Thailand? Sebenarnya tergantung kreativitas pemerintah dalam mengerahkan dana domestik. Andai saja orang kaya di Indonesia mau mengubah orientasi penggunaan dananya, pastilah dana Rp20 triliun untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh tak sulit diperoleh.
Mungkin Indonesia memang tak dapat bersikap ekstrim seperti India dan belum saatnya menunjukkan kedigdayaan, karena baru saja keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Tetapi sangat berlebihan bila pagi-pagi pemerintah memberikan imbalan politik ke negara-negara maju seperti AS atau Australia, dua negara yang sangat kental motif politiknya di Indonesia.
Masuknya China, Qatar, Kuwait atau Norwegia ke liga negara-negara donatur terbesar dalam bencana tsunami ini tentu membuat Washington dan sekutunya tak dapat begitu saja berharap motif politiknya akan berbuah hasil. India dan China telah memberikan pelajaran sangat berharga bagi AS dan sekutunya bahwa bantuan kemanusiaan yang mereka klaim tidak bisa membeli dukungan politik negara miskin seperti Indonesia begitu murah.
Karena itu, terlalu dini kiranya bagi presiden SBY untuk mengeluh bahwa negara-negara donor cuma ngomong tetapi bantuan tak cair.
Alangkah lebih bijak bila SBY mengatakan, "Kita tidak bisa mengandalkan negara donor untuk merekonstruksi Aceh dan kawasan tsunami. Kita bisa mengerahkan sumber daya domestik terlebih dahulu."
Misalnya meminta perhatian lebih besar dari ExxonMobil, perusahaan AS yang telah beroperasi dan mengeruk keuntungan lebih dari 25 tahun dari ladang gas alam di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Kalau kita menempatkan bantuan negara besar sebagai tiang utama, besar kemungkinan kita tidak dapat menghindari jebakan politik yang mereka pasang terhadap masa depan dan wibawa kita sebagai negara besar.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home