Menanti babak akhir Kiani Kertas & Bank Mandiri
Sehari sebelum peresmian oleh Presiden Soeharto, penulis mengikuti jumpa pers, dengan pembicara utama Mohammad 'Bob' Hasan (sang pemilik Kiani). Masih teringat bagaimana sulitnya mendapatkan wawancara khusus dengan Bob. Wartawan lokal hanya bisa bergumam ketika Bob lebih memilih wawancara khusus dengan jaringan TV AS CNN.
Ketika memasuki ruang konferensi pers, beberapa muka yang familiar juga bermunculan. Diantaranya adalah Fuad Bawazier (saat itu Dirjen Pajak) dan Rini MS Soewandi (petinggi Astra International). Biasanya untuk acara peresmian pabrik di era itu, para pejabat eselon I departemen terkait, khususnya di sektor industri memang wajib hadir. Tetapi dirjen pajak?
Para wartawan baru maklum dengan kehadiran Fuad ketika Bob mengatakan pabrik pulp yang dibangun di tengah hutan belantara (tetapi dilengkapi airstrip yang cukup untuk mendaratkan pesawat berpenumpang 100 orang) itu layak mendapatkan fasilitas 'libur dari membayar pajak' alias tax holiday.
Pada semester II 1997, Presiden Soeharto memang akhirnya memberikan tax holiday untuk jangka waktu lima hingga 10 tahun kepada enam perusahaan, termasuk Kiani Kertas. Kiani mendapatkan fasilitas bebas pajak 10 tahun.
Hanya sedikit ekonom yang mengritik secara pedas kebijakan itu. Tercatat ekonom UGM Revrisond Baswir menilai kebijakan tax holiday yang selektif itu tidak demokratis. Tidak jelas benar apakah fasilitas itu masih berlaku atau tidak sampai saat ini.
Dari mana Bob mendapatkan dana untuk membangun Kiani?
Kredit macet
Semula nilai investasi Kiani Kertas direncanakan US$975 juta. Namun kemudian membengkak menjadi US$1,3 miliar. Sebagian besar bersumber dari utang.
Utang luar negeri tercatat US$670 juta, sedangkan utang ke perbankan dalam negeri saat itu tercatat sekitar US$450 juta. Pada Maret 1997, Kiani Kertas memperoleh fasilitas kredit sindikasi yang dipimpin Sumitomo Bank (Singapura) dan diikuti 24 kreditor asing dengan total pinjaman US$120 juta.
Utang dalam negeri itu sebagian berasal dari Bank Umum Nasional milik Bob sendiri serta sejumlah bank plat merah yang kemudian macet dan diserahkan ke BPPN.
Tidak ada penjelasan mengapa kredit Kiani itu menjadi macet hanya dalam periode dua tahun sejak dikucurkan. Apakah bank-bank, termasuk bank plat merah, ketika itu melakukan analisis kredit secara benar? Apakah mereka menyalurkan kredit hanya karena nama besar Bob Hasan dan kedekatannya dengan Presiden Soeharto kala itu?
Kenyataannya, kredit macet dari berbagai bank itulah yang kemudian dialihkan ke BPPN. Selanjutnya pemerintahan era reformasi merestui usulan BPPN untuk merestrukturisasi kredit macet Kiani senilai US$628,4 juta.
Dari jumlah itu, US$226,5 juta diperpanjang 10 tahun, termasuk masa tenggang dua tahun, dengan tingkat bunga 12% per tahun. Sementara US$246,6 juta dikonversi menjadi obligasi jenis mandatory convertible bonds. BPPN pun mengklaim bahwa program restrukturisasi itu akan memberikan tingkat pembayaran hingga 47,7% dari total utang Kiani kepada negara.
Kenyataannya, pada 15 November 2002, konsorsium investor pimpinan Prabowo Subianto dengan dukungan pendanaan dari Bank Mandiri membeli seluruh aset kredit Kiani (termasuk non-Kiani Kertas) hanya dengan Rp1,7 triliun.
Di luar urusan kredit macet, Bob Hasan juga menyerahkan seluruh sahamnya di Kiani Kertas ke BPPN untuk melunasi utang Rp5,4 triliun terkait penutupan BUN. Penyerahan saham itu, termasuk sejumlah aset lain, membuat Bob terbebas dari tuntutan pidana perbankan yaitu pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Kredit (BMPK) melalui perjanjian yang dikenal sebagai Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Bob tidak sendirian. Salim, Nursalim, Ongko, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad termasuk pengusaha kakap yang teken perjanjian jenis ini.
Saham Bob itu kemudian dijual oleh BPPN dan sekali lagi jatuh ke pelukan Prabowo. Sayang, sampai saat ini tidak jelas berapa harga yang dibayar Prabowo untuk membeli mayoritas saham Kiani Kertas tersebut. Jadi, tidak pernah jelas hingga kini berapa tingkat pengembalian dari utang negara kepada Bob Hasan.
Transaksi itu sempat dipersoalkan, terutama adanya kekhawatiran aset kredit Kiani itu akan merusak kinerja Bank Mandiri. Tetapi baik direksi Mandiri maupun Bank Indonesia ketika itu berargumentasi bahwa sesuai ketentuan, Mandiri dapat membeli kredit macet dari BPPN, seperti halnya bank lain, asalkan dalam satu tahun kualitas kreditnya berubah menjadi lancar.
Kenyataannya, selama satu tahun sejak pembelian kredit itu, kondisi kredit Kiani Kertas tidak dapat direstrukturisasi. Kegagalan Bank Mandiri dalam merestrukturisasi kredit macet Kiani itu mudah ditebak mengakibatkan neraca bank plat merah itu terganggu karena harus menyisihkan pencadangan kerugian sebesar Rp1,7 triliun pada neraca yang berakhir Desember 2003.
Saat itu, dampak finansialnya tertutupi tingginya laba bersih Bank Mandiri. Toh, Bank Indonesia tetap memberikan peringatan berkali-kali kepada Bank Mandiri untuk segera merestrukturisasi utang Kiani. Setiap kali masalah itu ditanyakan kepada Bank Mandiri, direksi bank itu menyatakan bahwa aset Kiani jauh lebih besar dari nilai kreditnya, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Bank itu juga mendesak pemilik Kiani untuk segera menyuntik dana segar dan kalau tidak mampu harus menarik investor baru. Beberapa nama lalu beredar. Mirzan Mahathir, putra Mahathir Mohammad (mantan Perdana Menteri Malaysia), sempat disebut-sebut akan masuk ke Kiani. Ashmore, Amrock, Sultan Brunei, Siam Cement adalah nama-nama lain yang muncul di media massa.
Tetapi hingga munculnya laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir April 2005 yang kemudian menyeret tiga direktur Bank Mandiri (ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan Sholeh) ke pengadilan, Kiani belum kunjung diselamatkan. Maka Prabowo pun sempat dipanggil Kejaksaan Agung untuk mengklarifikasi pembelian kredit dari BPPN itu. Di Kejakgung, Prabowo mengatakan kredit Kiani itu telah macet enam tahun sebelum dia masuk. Prabowo lolos, namun tiga direktur Mandiri itu terjerat, bukan karena kasus Kiani tetapi pembelian kredit macet Tiara Medan oleh PT CGN.
Sulit ditebak
Sejak itu, manajemen baru Bank Mandiri mencoba merestrukturisasi Kiani. Enam bulan telah berlalu. Nama-nama yang beredar untuk membeli aset Kiani itu berseliweran. Empat bulan lalu, United Fiber System (perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Wisanggeni Lauw, keponakan salah satu konglomerat industri perkayuan) yang membeli aset HTI milik Probosutedjo di Kalimantan, mengklaim telah mengikat perjanjian dengan Prabowo.
Semula UFS berkongsi dengan JP Morgan. Namun beberapa waktu kemudian kongsi itu bubar dan jalan sendiri-sendiri. UFS lalu menggandeng Deutsche Bank. Selanjutnya masing-masing investor mengklaim telah 'deal' dengan Prabowo. Kenyataannya, tak satu pun yang benar-benar pasti.
Pekan lalu, koran Financial Times malah menulis bahwa manajemen Bank Mandiri tengah berunding dengan pemilik Asia Pulp & Paper (keluarga Wijaya) untuk membeli saham Prabowo.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Ekoputro Adijayanto pun mengakui Sinar Mas sebagai salah satu dari investor yang berminat membeli Kiani. Sayang dia tak dapat mengkonfirmasikan kebenaran pembicaraan antara Mandiri dan Sinar Mas. Namun, sejumlah sumber menyebutkan perundingan telah berlangsung intensif sejak pertemuan petinggi Mandiri di sela-sela kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke China beberapa waktu lalu. Mandiri mengakui perundingan awal dengan Sinar Mas, namun Sinar Mas membantah.
APP yang dikendalikan kelompok Sinar Mas merupakan salah satu nasabah Bank Mandiri. Bila rencana itu terlaksana, APP akan menjadi semakin kuat di industri pulp dan kertas, karena saat ini saja sudah menjadi pemain terbesar di Tanah Air.
Nama-nama besar di atas tentu membuat babak akhir Kiani Kertas di Mandiri ini sulit ditebak. Apalagi kreditor yang kecewa pun siap mengambil ancang-ancang memailitkan Kiani. Maka, kalau babak selanjutnya adalah pengadilan, menjadi pertanyaan, bagaimana buku Mandiri hingga akhir tahun ini?
Tentu tidak mudah bagi investor baru masuk ke Kiani bila ada ancaman pailit. Sebab, siapa mau menghabiskan US$600 juta untuk membeli saham dan kredit macet Kiani bila harus direcokin urusan hukum?
Itu berarti, status kredit Kiani akan terus mengganggu Mandiri. Padahal penyelesaian Kiani yang cepat akan memoles laporan keuangan Mandiri tahun ini.
Kenapa? Karena pada semester I 2005 kinerja perseroan merosot tajam. Bila investor baru dapat membeli Kiani sebelum tutup tahun maka Mandiri akan memperoleh pendapatan luar biasa mengingat kredit itu telah dicadangkan sebagai kerugian dalam neraca bank dua tahun terakhir.
Apalagi debitor macet lain, Domba Mas, disebut-sebut telah melunasi utang sebesar Rp1,3 triliun ke Mandiri. Dana pelunasan itu antara lain dari pinjaman US$200 juta yang diatur Credit Suisse First Boston.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home