Friday, November 25, 2005

Perebutan pengaruh AS-China di Indonesia

Bisnis Indonesia, 28 September 2005
Dalam konteks geopolitik, pada kurun waktu tertentu di dunia senantiasa ada kelompok negara yang oleh sejumlah pakar disebut negara inti dan periferi. Selama era Perang Dingin, AS dan Uni Sovyet merupakan negara inti yang utama. Keduanya senantiasa berebut pengaruh dan dukungan di negara periferi seperti Indonesia. Presiden Soekarno pernah mencoba membuat jarak dengan kedua kekuatan itu melalui Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Gerakan Non-Blok. Tetapi sejarah mencatat Soekarno akhirnya cenderung ke blok Soviet melalui politik poros Jakarta-Beijing-Moskow itu. Gerakannya itu tentu tak menyenangkan AS, sehingga beberapa saat kemudian posisinya terus digerogoti hingga meletusnya G-30 S PKI dan akhirnya terdepak dari istana. Kekuasaan beralih ke Soeharto yang juga aktif di Gerakan Non-Blok. Pada era ini, dari sudut pandang ekonomi sesungguhnya Indonesia cenderung ke Blok Barat (liberalisasi dan deregulasi) sedangkan langgam politiknya mirip Soviet yang sentralistis dan militeristik. Saat itu, pemilu hanyalah pajangan demokrasi. Tumbangnya Soviet memang membuat AS berada di pusat gravitasi sendirian, hingga kemudian muncul dan semakin kelihatan China menjadi pusat gravitasi baru di dunia. Presiden Abdurrahman Wahid sempat membuat gebrakan dengan poros Indonesia, India, dan China. Tetapi Wahid tumbang sebelum gagasan itu menjadi sebuah kenyataan. Tarik menarik pengaruh AS dan China tampak lebih kencang lagi di era Presiden Megawati Soekarnoputri bersamaan dengan semakin kuatnya persaingan kedua negara di level global. Tarik menarik itu semakin terasa di era Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Coba perhatikan pada akhir Mei 2005, Yudhoyono melakukan kunjungan kenegaraan ke AS. Lalu akhir Juli, presiden melawat ke China diikuti kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla kurang dari 30 hari kemudian (akhir Agustus 2005). Barangkali inilah kali pertama dua pemimpin tertinggi Indonesia mengunjungi satu negara dalam tempo satu bulan. Tetapi dua pekan setelah itu presiden kembali berkunjung ke AS. Memang tidak ada agenda resmi pertemuan Yudhoyono dengan presiden AS George Bush karena tujuan utama SBY adalah berbicara di Sidang Umum PBB di New York. Tetapi perhatikan bahwa kedua pemimpin ini duduk berdampingan pada jamuan makan siang yang diselenggarakan di markas besar PBB. Seperti dituturkan jubir SBY, Dino Patti Djalal, kedua pemimpin tampak akrab dan melakukan pembicaraan intens dalam acara makan selama satu setengah jam. Tentulah banyak hal yang dibicarakan dalam tempo sedemikian lama. Menurut Dino, posisi duduk SBY dan Bush itu sudah diatur sedemikian rupa alias by design, bukan kebetulan. Siapa yang mengatur dan dengan pertimbangan apa tentu banyak interpretasi yang muncul. Apa yang mereka bicarakan, tak ada yang tahu. Tetapi seperti kata pepatah, tak ada makan siang gratis, maka pastilah banyak urusan tingkat tinggi yang dibicarakan kedua pemimpin. Itu adalah pertemuan ketiga kalinya bagi SBY dan Bush, sama banyak dengan pertemuan SBY dengan Hu Jintao, perdana menteri China. Dari sini masih dapat dikatakan skor berimbang. Di level mikro, persaingan pengaruh antara AS dan China itu tak kalah menariknya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama di sektor migas. Kebetulan bahwa pertarungan AS dan China di sektor energi memang berlangsung di hampir semua belahan dunia. Kita masih ingat bagaimana China dan negara kaya minyak di Amerika Latin, Venezuela membangun hubungan. AS yang menggantungkan hampir 15% impor minyaknya dari Venezuela sangat berang dan disebut-sebut berusaha menjungkalkan presiden Hugo Chavez. Akhir bulan lalu, pendeta konservatif AS yang sempat mencalonkan diri menjadi presiden, Pat Robertson sampai harus menganjurkan pembunuhan Chavez, walau kemudian dia meminta maaf. Sempat berang Di level mikro perusahaan, China sempat berang dengan keputusan Unocal (perusahaan migas AS) untuk menerima tawaran akuisisi ChevronTexaco (juga perusahaan AS) walaupun nilainya jauh di bawah yang ditawarkan CNOOC (perusahaan migas China). Padahal bagi China penguasaan atas Unocal sangat strategis karena memiliki operasi migas yang sangat besar di Indonesia. Sebaliknya AS semakin berjaya dari kemenangan Chevron yang memang memiliki PT Caltex Pacific Indonesia, produsen minyak terbesar di Indonesia (50% dari total output). Tetapi China tak tinggal diam. Dalam beberapa tahun terakhir, boleh dibilang China merupakan investor paling agresif di sektor migas Indonesia. Pada awal 2002, China National Oil Overseas Co (CNOOC) mengakuisi seluruh operasi migas Repsol-YPF senilai US$585 juta sehingga menjadikannya produsen minyak lepas pantai terbesar di Indonesia dengan output 125.000 barel per hari. Selanjutnya September 2002, CNOOC juga menandatangani kontrak US$500 juta untuk membeli 2,6 juta ton per tahun gas alam dari Tangguh, Papua. Pada saat hampir bersamaan dengan akuisisi CNOOC atas Repsol-FPF, PetroChina juga berhasil membeli seluruh aset Devon Energy (AS) di Indonesia seharga US$262 juta. Beberapa saat kemudian, PetroChina sudah mendapatkan kontrak kerja sama migas dengan Pertamina di Sukowati dan Tuban, lapangan migas yang bertetangga dengan Blok Cepu yang kontroversial itu. Tak banyak yang memperhatikan kongsi Pertamina-PetroChina saat itu. Rumput tetangga senantiasa kelihatan lebih hijau. Itulah yang dilihat PetroChina. Blok Cepu memang jauh lebih kaya kandungan migasnya dan kebetulan menjadi sengketa antara Pertamina dan ExxonMobil, perusahaan migas terbesar di dunia dari AS. Celah untuk masuk ke Cepu itu memang menjadi terbuka ketika Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie di era Wahid didukung Presiden Direktur Pertamina saat itu Baihaki Hakim menghendaki pengoperasian ladang migas raksasa itu dikelola sendiri oleh Pertamina dan menggusur ExxonMobil. Exxon pun merasa terancam. Lobby tingkat tinggi pun berlangsung dari Jakarta hingga Washington. Di era Megawati, gesekan semakin kencang karena di saat perundingan Cepu itu dihidupkan lagi, Pertamina konon mendapatkan tawaran yang 'lebih menarik' dari PetroChina. Saat itu, petinggi PDI-P disebut-sebut telah didekati PetroChina walaupun samar-samar hanya dinyatakan Menteri BUMN Laksamana Sukardi bahwa Cepu belum tentu diserahkan ke Exxon dan terbuka kemungkinan masuknya investor baru, termasuk PetroChina. Di saat akhir pemerintahannya, Megawati dan kubu 'nasionalis' membuat keputusan bahwa Cepu akan ditangani Pertamina 'sendiri'. Kontan saja Exxon meradang lagi. Megawati berlalu, Yudhoyono langsung bertindak (setelah pertemuan dengan Bush di Cile) dan membentuk tim perunding baru. Hasilnya, Juni 2005 diteken nota kesepahaman, tetapi ditolak manajemen Pertamina (kendati tim itu beranggotakan tujuh orang Pertamina dan tiga orang non-Pertamina). Sejak itu, tak terdengar lagi nama PetroChina, kecuali saling tuding, misalnya si A agen PetroChina, agen China atau si B agen Exxon, agen AS. Di lorong-lorong DPR dan Pertamina nama PetroChina masih coba diangkat sebagai posisi tawar terhadap Exxon dan AS. Tapi Yudhoyono telah mengetok palu bahwa kontrak Cepu harus segera diteken. Sebelum berangkat ke AS akhir pekan lalu, tiga menteri (Menko Perekonomian, Menteri Energi, dan Menneg BUMN) serta dirut Pertamina pun menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan Cepu. Kali ini, kemungkinan besar AS menang lagi melawan China. Tetapi pertarungan pengaruh kedua negara besar itu tak berhenti sampai di sini. Malahan ini barulah babak awal mengingat kekuatan China yang makin besar dan membutuhkan energi (impor) dalam jumlah besar untuk menopang ekonomi dan geopolitiknya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home