Friday, November 25, 2005

Redemption Reksa Dana & Reputasi Bank

Bisnis Indonesia, 7 September 2005
Ketika booming reksa dana tahun lalu, hampir semua bank menggandeng perusahaansekuritas untuk mengelola dana nasabah. Tidak sedikit yangterang-terangan merayu nasabah kakap untuk mengalihkan dananya ke reksadana dengan janji untung lebih besar.
Banyaknasabah yang kesengsem. Apalagi para pengelola reksa dana ramai-ramaiberiklan di media massa lengkap dengan grafik perbedaan untung antaramenyimpan dana di bank dan reksa dana.
Ketikaitu, bunga di bank memang sangat rendah sekitar 6%, sedangkan tingkatbunga obligasi berkisar rata-rata 11%. Sejumlah reksa dana dapatmemberikan return dua kali lebih besar atau bahkan tiga kali lebihbesar. Para pengelola reksa dana sumringah.
Merekasempat gerah dengan rencana pemerintah menetapkan pajak atas reksadana, tetapi dengan 'tekanan' luar biasa, pajak pun menyingkir.Alasannya ketika itu, biarkan reksa dana tumbuh terlebih dahulu barudipajakin.
Makajumlah dana yang masuk ke reksa dana pun melonjak tajam dari hanya Rp8triliun pada 2001 menjadi Rp100 triliun pada awal tahun ini.Pertumbuhan yang amat pesat itu, memang didorong oleh kemerosotan bungadeposito di bank menyusul langkah Bank Indonesia memangkas suku bungaSertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 17% pada 2001 menjadi sekitar 6%tahun lalu.
Perkembanganreksa dana yang amat pesat itu tak terlepas dari peran perbankan.Hampir semua bank berlomba-lomba, sebagian ikut-ikutan, menjadi agenpenjualan produk reksa dana. Mereka merayu nasabah untuk pindah kereksa dana. Bagi nasabah pemilik dana, janjinya adalah keuntungan lebihbesar. Sedangkan bagi bank itu merupakan cara mengubah strukturpendanaan karena deposito biayanya mahal. Bank juga mendapatkan margindan memperbesar fee-based income-nya.
Tapi rupanya tak sampai lima tahun, industri ini mulai tumbang.
Tetapigonjang-ganjing nilai tukar rupiah merupakan pukulan paling telakkarena memaksa Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga dalamhitungan satu bulan saja, SBI telah meningkat pesat ke 10% dandiperkirakan akan terus meningkat menjadi 12% untuk meredam kejatuhanrupiah.
Pemilikunit reksa dana pun mulai resah. Gelombang penarikan dana (redemption)tak terhindarkan. Pada akhir Agustus, dana kelolaan di reksa dananasional telah merosot menjadi Rp62,85 triliun.
Dalamkonteks bank, apalagi bank yang menjadi agen penjualan dan menjadikananak perusahaan sebagai manajer investasi, penarikan dana seperti itumengandung risiko yaitu reputasi.
Halitulah yang tampaknya tengah menimpa PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbkyang membeli portofolio yang dilepas PT BNI Securities ketika reksadana yang dikelola sekuritas itu mengalami redemption.
KetikaBNI memakai jaringan kantornya untuk memasarkan reksa dana yangdikelola BNI Securities, maka nama bank itulah yang menjadi taruhan.
Walaupunsecara legal BNI tidak memiliki tanggung jawab dalam hal penarikan olehnasabah, tetapi bagi nasabah, nama BNI itulah yang muncul.Persoalannya, apakah tindakan BNI itu sejalan dengan ketentuanmanajemen risiko sesuai Surat Edaran BI pada 14 Juni 2005?
Kejujuran
Persoalanutama adalah kejujuran bank ketika menawarkan produk reksa dana itukepada nasabah dan pelaporan ke Bank Indonesia sebagai lembagapengawas. Sebab, risiko lain bagi bank adalah likuiditas terganggu.Risiko likuiditas ini terutama terjadi bila redemption dalam skalabesar dan bank menjamin tingkat pengembalian tertentu kepada investoralias guaranteed fix return.
Dalamhal reksa dana jenis guaranteed fix return, bank berkewajibanmemberikan rate of return seperti dijanjikan kepada nasabah saatmenawarkan produk reksa dana. Akibatnya, bank harus membayar selisihbunga yang harus diberikan ke pemilik reksa dana apabila hasilinvestasi di portofolio reksa dana ternyata memberikan return yanglebih rendah dari yang dijanjikan.
Mungkinkarena itulah, Surat Edaran BI antara lain melarang bank bertindaksebagai pembeli siaga, memberikan jaminan atas pelunasan maupunkepastian imbal hasil dan melakukan intervensi atas pengelolaanportofolio reksa dana yang dilakukan oleh manajer investasi.
Sayangsekali, kemungkinan besar nasabah tidak mengetahui atau belummengetahui hal itu karena Surat Edaran BI itu pun baru terbit ketikaperbankan telah terjerumus ke reksa dana sedemikian dalam.
Bagaimana kalau terjadi penarikan dalam skala lebih besar yang sangat mungkin terjadi karena kenaikan berkelanjutan dari SBI?
Jelashal itu bakal membawa risiko likuiditas bagi bank yang terafiliasidengan manajer investasi tadi. Misalnya dalam kasus BNI dan BNISecurities tadi. Tidak jelas apakah Bank Mandiri dan Mandiri Sekuritasjuga dalam kondisi serupa. Begitu juga bank lain yang gencar menawarkanreksa dana.
Tetapikalau hal itu terjadi, maka bank menghadapi risiko likuiditas bilamemberikan jaminan imbal hasil tadi. Selain harus menalangi semua danainvestor plus bunga, bank harus menyelamatkan likuiditas anakperusahaan (BNI Securities dan Mandiri) dengan membeli underlying asetreksa dana baik itu berupa obligasi rekap, surat utang negara, maupunaset lainnya.
Kalausudah begini, kita patut bertanya, ke mana saja BI selama ini? Mengapawasit selalu 'dikelabui' pemain dan selalu terlambat meniup peluitserta menjatuhkan sanksi?
Dalamkasus 'talangan' BNI terhadap BNI Securities, patut kiranya diselidikilebih lanjut bagaimana para karyawan BNI menawarkan reksa dana ke paranasabah? Patut pula diselidiki apakah ketika menawarkan produk itu adajaminan bahwa BNI menjadi pembeli siaga? Bagaimana dengan bank lainnya?
Tanpakejelasan jawaban berbagai pertanyaan itu, niscaya BI akan terusmenerus dianggap wasit yang selalu telat dan sibuk mencari alasanketika sudah terjadi masalah seperti dalam penutupan puluhan bank pada1998-1999 serta penutupan dan pembobolan beberapa bank dalam dua tahun terakhir.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home