Friday, November 25, 2005

Soal kepemilikan bank

Bisnis Indonesia, 22 Agustus 2005
Para bankir plat merah akhir-akhir ini rajin mengeluh. Pasalnya dapur me-reka terus menerus digerogoti pesaing. Maka tak sedikit diantara mereka yang menggerutu minta kepada pemerintah dan Bank Indonesia agar membatasi kepemilikan asing di perbankan nasional. Ada pula yang mengusulkan agar diterapkan simple majority di kepemilikan bank, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Atau usulan agar BI 'memaksa' bank asing atau bank yang mayoritas sahamnya dimiliki asing agar mengurangi kredit konsumsi dan mengarah ke kredit in-vestasi sektor riil dan infrastruktur. Uniknya sebagian besar bankir plat merah dan pengamat perbankan itu mendasarkan argumentasinya pada hasil riset majalah Infobank bahwa telah terjadi kenaikan signifi-kan kepemilikan asing di perbankan Indonesia dari 11% sebelum krisis menjadi 40% saat ini. Ringkas kata mereka berargumentasi bahwa hal itu merupakan sesuatu yang membahayakan ekonomi Indonesia. Sayang sekali para bankir dan ekonom itu lupa bahwa sebelum krisis perbankan 1997-1999, mayoritas bank nasional dikuasai oleh orang Indonesia semacam Sa-lim, Sjamsul Nursalim, Mohammad 'Bob' Hasan, Kaharuddin Ongko, Usman Ad-madjaja, Marimutu Sinivasan, Fadel Muhammad, Mbak Tutut, Bambang Trihatmodjo, Hashim Dojojohadikoesoemo, Aburizal Bakrie, dan sebagainya. Tengoklah bank plat merah, tidak satu pun yang luput dari rekapitalisasi. Bagaimana Bank Exim menguras uang negara gara-gara rugi valas Rp20 triliun? Bagaimana BNI tersedak kredit macet Texmaco Rp28 triliun? Bagaimana bank-bank asal Bank Mandiri terseret kredit macet ratusan triliun rupiah? Apakah struktur kepemilikan saham memang suatu yang sangat fundamental bagi sehat atau tidaknya perekonomian suatu negara? Apakah struktur kepemilikan saham menjadi alasan bagi regulasi baru? Sebelum membahas berbagai soal itu, perlu kiranya mencermati statistik Bank Indonesia yang dipublikasikan di situs www.bi.go.id. Tabel-tabel berikut ini adalah hasil olahan dari data BI dimaksud. Pertanyaan pertama, apakah bank asing/milik asing cenderung bermain di kredit konsumsi? Jika data BI itu valid, maka selama Januari-Mei 2005 justru terjadi penurunan porsi kredit konsumsi di bank asing/ campuran dari 15,95% menjadi 15,2%. Memang dari sudut absolut terjadi peningkatan 10,9%, tetapi pertumbuhannya justru lebih rendah dari bank BUMN yang 11,7%. Justru porsi kredit konsumsi di bank BUMN hampir dua kali lipat bank asing/ campuran yaitu mencapai 26,8% pada Januari 2005 lalu meningkat menjadi 27,7% pada akhir Mei. Tentu ada yang mengatakan yang dimaksud bank asing adalah bank swasta nasional yang sebagian besar sahamnya telah dimiliki asing. Farallon di BCA, Temasek di BII dan Danamon, Commerce Berhad di Niaga, Stanchart di Permata, serta Khazanah di Lippo dan sebagainya. Katakan bahwa berbagai bank milik asing itu sama dengan seluruh kategori bank swasta nasional, porsi kredit konsumsinya ternyata hampir sama dengan bank BUMN yang nyaris tak berubah dari 27% menjadi 27,7% pada periode itu. Me-mang ada bank milik asing yang porsi kredit konsumsinya lebih dari rata-rata. Bank Niaga, misalnya, porsi kredit konsumsinya 31% per Juni 2005, naik dari 25% pa-da Juni 2004. Tetapi sisanya mengalir ke sektor riil seperti manufaktur 22,63%, perdagangan, restoran dan hotel 17,26%, jasa lain 15,83%, yang merupakan sektor riil. Situasi di BII mirip Bank Niaga dengan kecenderungan kredit konsumsi meningkat, namun porsinya 32% dari total kredit. Sisanya adalah ke sektor riil. BNI pun mencatat kenaikan kredit konsumsi dari Rp10,19 triliun menjadi Rp11,6 triliun pada periode yang sama, kendati dari sudut porsi hanya 19,3%. Tetapi dalam hal kredit korporasi justru turun dari Rp21,4 triliun menjadi Rp19,9 triliun. Kembali ke data BI, secara nasional kredit perbankan meningkat hampir 13,4% selama periode Januari-Juni 2005, sedangkan kredit di bank BUMN justru hanya naik 10,21%, sedangkan bank swasta nasional (termasuk yang mayoritas sahamnya dimiliki asing) tumbuh 15,63% dan bank asing/campuran naik 17,37%. Menurut kategori BI, hanya tiga kelompok besar itulah kredit yang disalurkan perbankan yaitu kredit konsumsi, modal kerja, dan investasi. Jadi klaim bahwa bank BUMN yang lebih aktif di kredit in-vestasi merupakan kekeliruan substansi. Yang menarik adalah data pengumpulan dana perbankan atau DPK. Bank asing mencatat pertumbuhan sangat pesat yaitu naik 12,3%, sedangkan bank swasta nasional 4,8%, dan bank BUMN malah lebih baik sedikit (5,3%) kendati sebelumnya ada kekhawatiran nasabah hengkang dari bank BUMN menyusul pengusutan berbagai kasus kredit macet. Pertanyaannya, apakah ini sesuatu yang buruk bagi perekonomian atau sebaliknya? Apakah benar bahwa kredit konsumsi lebih berbahaya dari kredit korporasi dan kini telah bubble? Kalau ya, kenapa hampir semua bank melakukannya, termasuk bank BUMN? Apalagi sejumlah bankir yang kini memimpin bank plat merah merupakan alumni bank milik asing yang ikut menggenjot kredit konsumsi. Simple majority Soal pembatasan kepemilikan saham bank memang tidak ada aturan baku yang berlaku universal. Di Amerika Serikat, memang praktis tidak ada lagi bank yang dikuasai mayoritas oleh satu entitas, perorangan maupun badan usaha, walaupun tidak ada aturan yang membatasi kepemilikan saham bank. Namun negara ini membatasi ke-pemilikan minimal 10% sebagai syarat untuk menjadi pemegang saham pengendali, hal mana lebih longgar dari ke-tentuan Indonesia yang minimum 25%. Bahkan di AS, 5% saham pun sudah cukup untuk menjadi pengendali bank asalkan direstui pengawas perbankan. Sebaliknya di Malaysia, pemegang saham pengendali harus memiliki 50% saham dan memiliki kuasa/pengaruh, namun justru membatasi kepemilikan individu maksimal 10% dan nonindividu 20%. Di Korsel, tidak ada batasan soal apa yang disebut pemegang saham pengendali, tetapi ada batasan soal pemilikan saham individu dan badan hukum, mirip Malaysia. Kepercayaan umum mengatakan kepemilikan mayoritas oleh satu kelompok/individu/badan usaha (single majority) akan mendatangkan godaan moral hazard seperti yang terjadi sebelum krisis moneter 1997 yang menghancurkan perbankan nasional. Tetapi tidak ada jaminan apa pun bahwa single majority pun tak mendatangkan moral hazard. Bahkan Citicorp, bank terbesar di dunia, yang sering dijadikan referensi para bankir plat merah untuk membenarkan single majority, pun tak luput dari moral hazard. Sebab moral hazard tidak saja dapat dilakukan pemilik, melainkan manajemen atau melalui kongsi dengan pihak luar/nasabah. Dalam kasus PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk yang dibobol skenario pembukaan leter of credit (L/C), pemerintah sebagai pemilik mayoritas tunggal BNI, sama sekali tidak terlibat. Sebaliknya sejumlah pejabat tinggi pemerintah memang terlibat dalam pengucuran kredit Rp27 triliun dari BNI ke Texmaco yang hingga kini macet tetapi tak ada satu pun yang dimintakan pertanggungjawabannya. Studi yang dilakukan para peneliti Bank Indonesia yang terdiri dari Muliaman Hadad, Agus Sugiarto, Wini Purwanti, M. Jony Hermanto, dan Bambang Arianto dengan judul Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank di Indonesia (September 2003) pun berkesimpulan bahwa kinerja suatu bank tidak terkait dengan struktur kepemilikan dan merekomenda-sikan agar dalam pengaturan perbankan ke depan yang berkaitan dengan kinerja bank, struktur kepemilikan bukan merupakan faktor yang dominan. Meskipun demikian, para peneliti BI itu merekomendasikan agar supervisi yang terkonsolidasi harus diperhatikan aspek kehati-hatiannya bila bank dimiliki non-financial conglomerate/corporation. Lalu kalau kepemilikan bukan faktor dominan, apa yang harus diperhatikan? Jawabannya pada kualitas manajemen. Menyitir agency theory (Jensen & Meckling) yang dikutip Muliaman Hadad dkk, kinerja bank ditentukan oleh manajemen sebagaimana tertuang dalam performance contract antara pemilik dan manajemen. Seringkali kita mendengar alasan dari manajemen bank plat merah bahwa mereka hanya menjalankan perintah ketika ditimpakan pertanyaan mengapa ada masalah dalam pengucuran kredit ke kelompok kekuasaan? Jawaban semacam ini membuktikan lemahnya integritas manajemen dan cenderung mendahulukan kepentingan jabatan, "yang penting aman, tidak dipecat." Kalau begini, baiklah kita berseru kepada para bankir plat merah. Jangan cepat-cepat mengeluh. Itu mental bangsa yang kurang percaya diri.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home