Kunjungan SBY ke AS & wajah investasi RI
Bisnis Indonesia, 15 September 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali berkunjung ke Amerika Serikat untuk kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari enam bulan. Kita masih ingat akhir Mei 2005, Kepala Negara melakukan kunjungan kenegaraan ke negeri adidaya itu.
Berbeda dengan kunjungan pertama, kali ini Presiden tak bertemu Presiden AS George Bush. Namun Condy Rice, Menlu AS, menjadi salah satu tamu yang akan diterima Kepala Negara selama di New York.
Sebelum ke New York, Presiden Yudhoyono berkunjung ke almamaternya, Webster University, Saint Louis, Missouri. Di universitas ini, dia meraih gelar master of arts di bidang manajemen. Di sini SBY akan menerima gelar doktor honoris causa di bidang hukum, walaupun dahulu dia meraih gelarnya di cabang Webster di Kansas.
Di situs universitas itu tidak disebutkan mengapa bidang hukum yang diberi penghargaan. Tetapi mungkin karena Kepala Negara dicitrakan cukup baik dalam hal pemberantasan korupsi walaupun belakangan SBY memerintahkan Jampidsus Hendarman Supandji agar 'cooling down'. Begitu juga masyarakat yang mulai meragukan ketegasan SBY dalam penegakan hukum ketika sampai saat ini tidak jelas penyelidikan kasus dugaan rekening ratusan miliar rupiah milik sejumlah perwira Polri.
SBY selanjutnya juga mendapatkan sertifikat penghargaan dari Army College of Staff di Fort Leavenworth, Kansas.
Kedua penghargaan itu tentu menambah gemerlap gelar akademis SBY yang sebelumnya menyandang doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelang pemilu presiden lalu. Sebagian masyarakat bangga dengan berbagai gelar tersebut karena mencitrakan seorang presiden berpendidikan, tetapi sebagian mengkritik. Bahkan ada yang secara sarkastik menyebut IPB itu sebagai Institut Penjilat Bembeng.
Wajah SBY tentu sumringah dengan berbagai penghargaan yang diserahkan sebelum berbagai kegiatan pentingnya di New York. Agenda penting di kota bisnis dunia itu adalah pidato di PBB.
Di bidang ekonomi, SBY akan menjadi pembicara utama pada Indonesia's Intitutional Investors Conference, sebuah konferensi yang dirancang untuk menarik para investor institusi menanamkan modal mereka di Indonesia.
Menggenjot investasi, termasuk dari investor asing, memang menjadi salah satu janji utama SBY dalam kampanyenya tahun lalu. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa perkembangan investasi merupakan prasyarat bagi penciptaan lapangan kerja baru yang amat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Bila merunut data statistik Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perkembangan persetujuan PMA memang terlihat meningkat cukup signifikan. Selama Januari-Juli 2005, misalnya, disetujui 948 proyek PMA dengan komitmen investasi US$6,63 miliar. Persoalannya, komitmen tidak berarti apa pun bila tidak direalisasikan.
Realisasi investasi berupa masuknya dana ke Indonesia bisa dilihat dari perkembangan neraca transaksi berjalan. Dalam beberapa tahun terakhir ini sangat jelas arus investasi asing langsung (FDI) belum ada tanda-tanda membaik.
Tahun lalu, arus FDI bersih memang mencapai US$1 miliar, jauh lebih baik dibandingkan dengan 2003 yang minus hampir US$600 juta. Namun pada kuartal pertama 2005, arus FDI bersih baru mencapai US$423 juta, justru turun bila dibandingkan dengan kuartal terakhir 2004 yang US$463 juta.
Apakah kita kurang mempromosikan potensi investasi?
Tidak juga. Awal tahun ini, pemerintah menggelar Infrastructure Summit yang dihadiri oleh investor dari berbagai negara untuk menawarkan potensi investasi di sektor infrastruktur seperti listrik, gas, jalan tol, hingga air minum. Tetapi data persetujuan investasi dalam tujuh bulan terakhir ini tidak memberikan gambaran bahwa investor memang telah memasuki sektor itu.
Nilai persetujuan PMA di sektor listrik, gas, dan air selama Januari-Juli 2005, misalnya, baru mencapai US$11 juta. Sedangkan di sektor konstruksi masih di bawah US$500 juta.
Apakah mereka tidak memahami potensi investasi yang amat besar di Indonesia? Tidak juga. Mereka sadar bahkan berebut ingin masuk.
Hal itu tercermin dari begitu banyaknya nota kesepahaman untuk investasi di Indonesia ketika baik Presiden SBY maupun Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke China dalam kurun satu bulan (akhir Juli-akhir Agustus 2005). Nilai proyek yang disepahami untuk dibangun di Indonesia mencapai US$7,5 miliar. Tetapi antara keinginan dan kenyataan terdapat kesenjangan yang besar.
"Kami sebetulnya ingin masuk ke jalan tol karena kami melihat ada peluang. Tetapi begitu hendak mengajukan penawaran, di sana sudah ada Kelompok A, di sini ada Kelompok A juga. Kami akhirnya memilih mundur," ujar seorang investor.
Masa depan proyek
Kekhawatiran sang investor bukan pada kedigdayaan Kelompok A tetapi koneksitas politiknya yang membuat dia ragu soal masa depan proyek. "Kalau terjadi pergantian rezim nanti bagaimana?" begitu dia bertanya.
Investor lain yang berniat masuk ke distribusi gas alam juga melihat peluang amat besar di sektor ini karena masih rendahnya konsumsi gas alam di Indonesia. "Tetapi ketika masuk, kami harus bekerja sama dengan kelompok B atau C atau D sementara kami tahu mereka memiliki track record yang buruk di masa lalu. Akhirnya kami batal masuk dan memilih ke negara lain," ujar investor lain.
Kepercayaan investor terhadap penegakan hukum juga masih rendah karena penyelesaian berbagai sengketa investasi di Indonesia tidak jelas. Misalnya kasus Karaha Bodas, Cemex, dan Blok Cepu yang belum jelas arah penyelesaiannya.
Sering kali terjadi pernyataan antara menteri A dan menteri B untuk soal yang sama amat berseberangan sehingga membingungkan investor domestik maupun asing, soal siapa sesungguhnya mahluk bernama pemerintah Indonesia itu?
Situasi seperti itu terjadi nyaris setiap saat. Rencana kenaikan harga BBM, misalnya, merupakan salah satu yang paling membingungkan investor, termasuk mereka yang sudah menanamkan modal di Indonesia, karena mereka kesulitan membuat kalkulasi bisnis.